My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 09 November 2008

CerpeN


Kencan Pertama
Cerpen Mayshiza Widya Uyex
"Selamat malam, Ene! Gaunmu indah, kau tampak anggun", puji Gray di pesta dansa malam itu. Kami baru kenal lima menit yang lalu. Aku tersanjung, tersipu, wajahku sedikit memerah. Gray mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya dengan bangga. Digapitnya tanganku yang dingin di atas pundaknya, dan kedua tangan Gray melingkar di pinggangku. Kami bergoyang mengikuti alunan musik, ke kanan dan ke kiri. Dadanya yang lapang menyentuh lembut dadaku. Kurasakan detak jantungnya berhitung. Satu-satu. Bahkan aroma nafasnya menyerengak di hidungku.
"Ene, setelah pesta dansa ini. Maukah kamu berkencan denganku?", bisik Gray pelan, cukup terdengar. Aku tersentak, darahku berpacu, mengalir kian derasnya, syaraf-syaraf di otakku mulai tegang. Mulutku tetap diam terkatup, meski Gray mengulangi kalimat itu dua kali. Dia makin erat memelukku, nafasku terengah, namun entah… seolah aku menikmatinya, dan kubiarkan tangannya meraup seluruh tubuhku. Ia mulai berani menggigit leherku dengan mesra, aku menggeliat, merintih, dan Gray malah tertawa.
Menit berikutnya, ia menarik lenganku keluar dari pesta dansa menuju sebuah ruangan kecil. Padahal pesta dansa belum usai. Kulihat gairah membara dalam diri Gray, di ruang pengap yang tertutup itu aku terpojok. Mata Gray menyala, menimbulkan kobar dan membakar seluruh jiwaku. Jari-jari lentiknya meraba pahaku, dan menyibak rok miniku. Bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ia semakin berani menunjukkan kejantanannya dengan membuka sedikit kancing bajuku, dan kami pun ...
Aku makin tak kuasa dibuatnya, imajinasiku terbang melambung, kami seolah menjadi satu. Aku adalah Gray, Gray adalah aku. Kami berdua melayang tuk menggapai kepuasan dunia yang fana. Sekalipun ini adalah kencan pertamaku, dan meski sesaat kami cukup menikmatinya. Kemudian segera kurapikan dandananku dan kembali ke ruang dansa. Gray mengikutiku dari belakang, seolah tak terjadi apapun. Aku berbincang dengan Elis dan Prita di ujung bartender. Mereka menuangkan segelas wine, dan aku meneguknya. Kulirik Gray, di ujung meja yang lain bersama Freud. Ia tertawa lepas, kepuasan jelas terpancar dari rona wajahnya.
***
Sejak malam itu, aku tak lagi bertemu muka dengan Gray. Malam yang menegangkan dan mengharu biru itu tak akan terulang. Kini aku tengah duduk di altar sebuah paviliun, lengkap dengan rumput dan bunga kamboja. Menyaksikan guratan demi guratan yang diukir oleh hujan yang tak begitu deras membasah.
Aku hanya bisa menikmati kehancuran ini, aku seakan terbang di atas awan, tak tahu ke mana harus melangkah dan tak berani menyeberang ke kanan atau ke kiri. Atau bagai seorang peziarah yang lelah, yang bereforia mendapatkan sekantung air zam-zam. Ahhh… tidak, aku terlalu hina untuk diibaratkan demikian. Hidupku hancur sejak Gray dengan brutalnya menggerayangiku. Kehidupan keluargaku berantakan, menjadi anak tunggal dari keluarga yang broken adalah mimpi buruk, aku ingin segera terbangun dan terjaga dari tidurku, tapi terlambat. Aku pun di D.O dari Universitas karena tak pernah masuk kuliah. Masa depanku kini suram. Sementara itu, virginitasku tergadai untuk sebuah kepuasan busuk. Sesal pun terasa percuma. Jika sudah demikian, apa yang mampu kulakukan?
Tuhan… yach, nama itu jarang sekali kusebut, bahkan hampir tidak pernah. Tapi apakah Dia mau mengampuniku? Kurasa Dia pun telah muak melihat ulahku. Biar saja kunikmati kehancuran ini. Aku sudah telanjur rusak, jadi mau apa lagi?
"Ene, apa yang kau lamunkan?", tanya Mike, teman kencanku yang baru, dua bulan terakhir. Aku menggeleng, mencoba menawarkan seulas senyum yang sedikit kupaksakan. Kumatikan puntung rokokku. Kulihat ia mengambilkanku sepotong biskuit dan segelas orange juice. Aku meraihnya, meneguk orange juice buatannya, membiarkan kerongkonganku basah untuk sesaat. Tiba-tiba perutku malah mual, mendadak ingin muntah, tapi kutahan.
"Jika kau mau, orangtuaku akan datang minggu depan untuk melamar!", ujarnya memecah hening. Aku masih terlalu muda untuk sebuah ikatan perkawinan. Tapi aku tak akan mengelak jika ia menghendaki demikian. Lagi pula, aku tak akan begitu ambil pusing dengan hidup berumah tangga dengan Mike. Dia yang akan mengatur segalanya. Dan aku? Hanya tinggal duduk, bersantai, menunggu laporan selayaknya bos.
Sejenak wajah Gray muncul di hadapku, tawanya… gairah seksualnya… aroma tubuhnya… sulit terlupa dari benak dan fikiranku. Aku kesepian. Terluka. Sejak awal pun aku tahu bahwa hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Ia seorang suami dan ayah dari seorang anak laki-laki bernama Yugas. Aku juga telah prediksikan, jika akhirnya akan seperti ini. Tapi aku masih beruntung, mungkin karena aku masih memiliki Mike yang mau menerimaku apa adanya. Yang mencintaiku tanpa cacat. Kurasa, aku harus belajar melupakan Gray dan sesedikit mungkin mencintai Mike. Kasihan ia…
"Ene, kau baik-baik saja?", Mike sedikit menghawatirkanku. Ia memang seorang lelaki yang penuh kebapakan, bijaksana, dan pengayom. Wajar saja, karena usia kami terpaut 10 tahun. Mike memang tipikal suami yang ideal, betapa pun demikian gairah seksualku menurun semenjak berhubungan dengannya. Kami lebih banyak bicara dibandingkan bermain cinta. Aku tersenyum kecut dan kembali kuteguk minuman di tanganku.
***
Aku akan menikah, Mike keberatan jika kami harus bertunangan terlebih dahulu. Ia merasa sudah terlalu tua untuk menunggu. Undangan sudah di sebar, gaun pengantin, kue pengantin, gedung resepsi, cincin berlian, hidangan pesta, semua telah dipesan. Bahkan tak terkecuali dengan honeymoon ke Eropa. Semua sengaja dipilih sesuai seleraku.
Aku bertekad untuk memulai kehidupanku yang baru. Untuk kembali menjadi wanita normal seperti yang lain. Melupakan harapan bodoh untuk merebut suami orang. Oleh Mike, aku diajari bagaimana harus sholat dan mengaji. Dan hari ini, kami menikah. Kukenakan gaun pengantinku dan mengikrarkan akad nikah dengan Mike. Hampir tak kupercaya, mulai detik ini aku telah dinobatkan menjadi seorang istri.
Pesta pernikahan kami begitu meriah. Kawan dan kerabat dekat juga tampak hadir. Elis dan Prita, sahabat karibku turut membantu kami menjamu tamu undangan. Sesaat kudapati seraut wajah yang tak asing, wajah yang telah sekian lama terkubur bersama kenangan, wajah yang sempat mengayuh rindu yang mengakar. Kini ia ada dihadapku, mata itu… masih menyorot tajam, setajam belati yang siap setiap waktu mengulitiku. Aku masih diam, tak bergerak, menatapnya lekat, ternyata tak banyak yang berubah, ia masih seperti yang dulu, masih sama seperti Gray yang telah mencumbuku malam itu, ia tetap tampan, aku tak berhenti menatapnya, tak berkedip.
"Ene, congratulation!", ucapnya, hendak menjabat tanganku. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku, namun aku berusaha untuk tetap bersikap senatural mungkin. Meski sedikit kaku, kucoba kulum seulas senyum. Biarlah kenangan tetap menjadi kenangan, manis atau pun getir. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang akan kita dapat di hari esok.

Orasi Budaya


Membangun peradaban baru Indonesia
Oleh : Mayshiza Widya Uyex*
Dengan menindaklanjuti perjalanan panjang sejarah masyarakat nusantara, maka yang ada pada kita adalah sebuah pertanyaan besar akan penemuan awalan dan akhiran abad. Dalam bentuk apa dan periode kebudayaan yang bagaimana, masyarakat dan bangsa Indonesia dapat menegaskan sikap atas perkara budaya yang melingkupinya? (Manifesto Pemuda)
Khalayak kebudayaan pernah mengalami pesta pora menjadi manusia berbudaya yang sesungguhnya, pun pernah melanggar tata pengertian kebudayaan dengan menjadikannya sebagai ritus pemberhalaan sejarah. Persepsi manusia tentang budaya ternyata mengalami sekian pergeseran, dari manusia dalam periode sosial yang menemukan anti klimaks revolusi kebudayaan menjadi manusia yang logika berfikirnya ekonomistik sehingga menjadikan budaya sebagai alat eksploitasi untuk berkuasa. Inilah yang menjadi penyebab runtuhnya tatanan kebudayaan di Indonesia.
Dan menjadi menggelitik ketika ada beberapa pertanyaan terlontar dengan tiba-tiba. Seperti, apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur yang selalu mengganggu dengan menggeliatkan hasrat untuk menjadi manusia berbudaya? serta kenapa kita tak memutar haluan kesadaran untuk mengolah kehendak (baca: daya, cipta dan karsa) atas kekuasaan menjadi kehendah memperoleh pencerahan dalam pencapaian revolusi budaya? Tampaknya kita perlu merefleksikan kembali tentang hakikat budaya itu sendiri. Juga tentang kebutuhan manusia akan kebudayaan yang kian mengukuhkan hakikat kemahlukannya.

Dominasi budaya kekuasaan
Budaya merupakan kristalisasi nilai dan pola yang dianut manusia dalam sebuah komunitas, yang dalam hal ini kita coba kontekskan dalam sebuah sistem negara bernama: "Indonesia". Negara yang hiterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, serta tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia dalam skala nasional. Akan tetapi pola hubungan masyarakat yang sudah carut marut oleh sistem kebudayaan itu terhianati segelintir orang yang berkuasa dan menghancurkan karakter serta jati diri bangsa. Bahkan nilai yang tumbuh dalam masyarakat melalui proses dialektika sosial yang melahirkan tatanan serta sistem kebudayaan pun harus dirusak oleh proses eksploitasi budaya yang mengelabuhi pandangan kritis masyarakat terhadap realitas sosial.
Dan menjadi sangat dilematis ketika bangsa hanya mampu mengantarkan masyarakatnya untuk bereforia dalam gerakan kebudayaan yang pragmatis. Yang memanfaatkan akulturasi dan transisi budaya dalam industri secara membabi-buta. Sedang lembaga pendidikan ternyata tidak mampu memberikan gambaran yang baik tentang kebudayaan Indonesia. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan pada muridnya untuk memuji-muji budaya yang luhur, padahal budaya Indonesia sangat miskin dan compang-camping. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Tour, bahwa Indonesia adalah bangsa yang brengsek. Kekayaan yang dimiliki tidak membuat kita kuat tetapi justru menjadikan kita dijajah. Bahkan sejak dulu, kita mempunyai pandangan sosial seperti sebuah piramida. Lapisan bawah harus membiayai lapisan atasnya. Lapisan itu harus membiayai lapisan atasnya lagi. Kemudian lapisan ini juga harus membiayai lapisan atasnya lagi sampai ke puncaknya. Elite politik tidak bekerja apa-apa. Yang ada sepanjang sejarah adalah kekuasaan yang kemudian distratifikasikan menjadi dua yakni; berkuasa dan dikuasai.

Menjadi masyarakat berbudaya
"Kita tidak pernah menilai dan mengoreksi budaya kita sampai sekarang. Jadi kita perlu berani melihat kekurangan kita. Jangan hanya memuji-muji saja. Memang banyak pujian Barat pada pariwisata Indonesia. Tapi lebih baik belajar melihat kekurangan sendiri untuk memperbaiki," demikian kiranya Pramoedya melakukan kritik terhadap pola fikir yang menghegemoni masyarakat. Ia mencoba mempertautkan jaring-jaring kesadaran untuk membangun peradaban baru manusia, tentunya tanpa menghilangkan karakter kebangsaan ini.
Jika kesadaran akan diversitas budaya telah terbangun, maka pengupayaan kebangkitan bangsa akan kebijakan dan kebijaksanaan yang bersumber pada budaya akan menciptakan dinamika yang kondusif untuk membentuk masyarakat yang berbudaya. sehingga tak ada lagi alasan untuk melakukan klaim-klaim terhadap hasil budaya Indonesia, seperti: batik dari jawa yang diakui oleh Adidas, tari reog ponorogo dari jawa timur yang diakui oleh pemerintah malaysia, pigura dengan ornamen ukir khas jepara dari jawa tengah yang diakui oleh warga negara Inggris, kopi toraja dari sulawesi selatan diakui oleh perusahaan jepang, dan seterusnya. Karena peradaban akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang beradab. Untuk menggali kembali nilai yang telah lama tumbuh tapi dirusak. Sehingga cita-cita menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mempunyai karakter kebudayaan yang kuat bukanlah sebuah uforia.[]

* Penulis adalah Direktur Kajian LPM Paradigma

Mimbar Sastra


Salam pagi

Sapa pagiku kali ini untuk nasi
Yang tak pernah putus asa menyambung nyawa kita
Meski harga beras kian melambung tinggi
Sedang taraf hidup petani tak juga meningkat

Do'aku untuk jalanan yang dibangun atas keringat rakyat
Tapi dengan balutan utang luar negeri
Yang tak bosan mencekik mereka
Dalam pemiskinan-pembodohan

Senyumku untuk darah
Yang mengalir di setiap inci dan lekuk tubuh kita
Hingga masih bertahan dalam gempuran masa
Yang makin tak manusiawi

Maka,
Sampaikan salamku untuk nasi
Yang setiap butirnya berisi perjuangan
Sampaikan salamku untuk jalanan
Yang melahirkan pergerakan
Sampaikan salamku untuk darah yang memerah
Mengukuhkan kita dalam perlawanan
Demi pembebasan.

Dipersimpangan masa, 06092008
Mayshiza Widya Uyex

Do'a (dalam) kalut

Tuhan…
Beri aku satu janji
Satu saja, cukuplah.
"Kembalikan dia kepadaku!"

Mungkin terlalu sering, aku memintanya
Tapi, kumohon…
Hanya untuk kali ini
"Terima kasih!"

Menjelang natal, 2006
Widya Robin

Sabtu, 18 Oktober 2008

pemuda pemberani



Kedaulatan pangan; sebuah keniscayaan

Rabo, (15/10) kenyataan bahwa Negara hari ini mengalami kegagalan dalam proses pemenuhan hak atas pangan dengan mengeluarkan kebijakan ekonomi yang memiskinkan rakyat dengan dampak situasi rawan pangan tidak dapat dibantah lagi. Oleh karena itu, beberapa aktivis dari FPPI Pimpinan Kota Kudus menggelar aksi turun jalan untuk memperingati hari pangan internasional yang jatuh pada tanggal 16 oktober. Aksi yang berlangsung pada siang hari sekitar pukul 11.00 WIB berjalan lancar tanpa mengganggu para pengguna jalan alun-alun simpang tujuh Kudus.
Para demonstran tersebut menyatakan keprihatihannya terhadap keputusan pemerintah melakukan perselingkuhan dengan lembaga donor internasional yang justru mengganggu hak pangan nasional. Seperti; kesepakatan dengan WTO, termasuk juga perjanjian bilateral Negara dengan World Bank dan ADB terkait dengan penetapan kebijakan Negara tentang privatisasi, pencabutan subsidi, bahkan liberalisasi perdagangan. Sebagaimana yang diungkap Huda, Koordinator lapangan dalam orasi politiknya bahwa situasi ini menjadi indikator rawan pangan, seperti; gizi buruk, busung lapar, anthrax, tak terkendalinya makanan yang terkontaminasi zat kimia, serta kualitas ait minum yang buruk. Disamping itu dipaparkan pula olehnya tentang sikap pemerintah yang masih mendasarkan kebijakan pangannya pada Undang-Undang No.7/1996 tentang pangan, PP No.67/1999 tentang ketahanan pangan, Kepres No.132/2001 tentang pembentukan dewan ketahanan pangan, serta Inpres No.2/2005 tentang kebijakan perberasan turut menciptakan polemik bagi rakyat karena kehilangan akses untuk menopang kehidupan mereka.
Pada sesi terakhir, aksi pun ditutup dengan membacakan statement politik tentang sikap FPPI terhadap kedaulatan pangan yang dianggap merupakan sebuah keniscayaan. Adapun tuntutan tersebut antara lain: lindungi ketahanan pangan nasional dari komperador kapitalis, lindungi produksi-distribusi-konsumsi rakyat dengan merubah cara produksi dan orientasi pembangunan, nasionalisasi asset-aset Negara, dan cabut undang-undang yang tidak mempunyai keberpihakan terhadap rakyat. (wid)

aksi pemuda



FPPI menyikapi hari tani

Rabo, (24/9) organisasi pergerakan pemuda FPPI Pimpinan Kota Kudus menggelar aksi demonstrasi dibundaran alun-alun simpang tujuh kudus untuk menyikapi hari tani nasional. Aksi ini berbeda dengan aksi-aksi yang biasanya digelar karena dilakukan pada sore hari, sekitar pukul 15.00 WIB. Hal ini mengingat kondisi para demonstran yang mayoritas beragama islam dan menunaikan ibadah puasa. Sehingga sore hari dianggap menjadi waktu yang tepat karena panas matahari tak terlalu terik.
“Pada waktu bulan ramadhan seperti ini, masyarakat lebih banyak bepergian pada sore hari untuk ngabuburit, jadi ini waktu yang tepat untuk opinion building”, tandas coordinator lapangan, Nor Muckhafi. Dan benar saja, meskipun dalam aksi tersebut diikuti oleh puluhan orang demonstran saja, akan tetapi cukup mendapatkan respons dari masyarakat. Haryono misalnya, seorang penguna jalan yang kebetulan melewati para demonstran tersebut juga mengungkapkan keprihatinan yang mendalam terhadap persoalan petani hari ini. “banyak petani yang ditembak mati untuk mempertahankan tanahnya, tetapi kasus demi kasus yang terjadi tidak pernah diusut tuntas”, ujarnya pada kruw suara pemuda pada saat diwawancarai.
Dalam aksi tersebut, FPPI Pimpinan Kota Kudus menuntut agar kriminalisasi dan tindak kekerasan terhadap kaum tani segera dihentikan, pengembalian tanah rakyat, penghentian perampasan tanah rakyat, laksanakan reforma agrarian sejati sesuai dengan UUPA No.5 tahun 1960, cabut Undang_undang perkebunan, Undang-Undang Sumber daya air, Undang-Undang Penanaman modal, dan undang-undang lain yang anti rakyat, nasionalisasi asset Negara yang tergadai, serta galang solidaritas untuk perubahan system ekonomi politik internasional. (wid)

Our readingpark



Pengen kaya, ternyata mudah!
Oleh : Mayshiza Widya Robin

Nama buku : The cashflow quadrant
Penulis : Robert T Kiosaki, Sharon L. Leachter. CPA
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 18, 2006
Tebal : viii + 330

“Apakah aku bekerja dengan keras atau aku bekerja dengan cerdas?”, pertanyaan menggelitik ini ternyata cukup menyisakan persoalan bagi kebanyakan orang, terlebih di era informasi. Fenomena seperti gizi buruk, ekonomi moneter, dan inflasi merupakan bagian kecil dari sekian banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Sangat dilematis sekali ketika seseorang mengasumsikan bahwa hanya mereka dengan pendidikan tinggi yang layak menjadi orang kaya, sedangkan mereka yang tidak mampu mengenyam pendidikan selamanya akan menjadi orang miskin.
Dan buku ini kemudian dipersembahkan oleh penulis sebagai terobosan baru yang sekaligus membuka ruang sadar masyarakat bahwa setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih mimpi menjadi orang kaya, tak terkecuali dengan mereka yang gagal secara akademik. “Siapa yang tidak ingin menjadi kaya?”, tentu saja tak ada seorangpun yang menginginkannya. Maka buku ini sengaja dihadirkan di tengah-tengah problem kemasyarakatan yang kompleks dalam urusan finansial sebagai salah satu alternatif paling jitu membuat orang menjadi kaya raya. Tak pelak karena melihat kenyataan bahwa ada banyak orang sukses yang justru drop out dari bangku sekolah dan tidak memperoleh ijazah perguruan tinggi. Sebut saja, Thomas Edison, pendiri General Electric; Bill Gates, pendiri Microsoft; Michail Dell, pendiri Dell computer; Henry Ford, pendiri Ford Motor, dan masih banyak lagi. Dan ini cukup memberi motivasi untuk masyarakat supaya tidak terjebak dengan pendidikan formal yang bagus dan ijazah perguruan tinggi dengan IPK (Indeks Prestasi Komulatif) komlud semata, karena ternyata ada banyak pula para sarjana lulusan universitas terkemuka yang menggangur.
Yang dibutuhkan disini hanyalah tekad besar, kesediaan untuk cepat belajar, keyakinan kuat untuk mengubah masa depan dengan menentukan strategi tepat dalam memetakan langkah menjawab tantangan finansial, serta mengetahui dari sektor cashflow quadrant mana seseorang dapat memperoleh penghasilannya. Menginginkan keamanan finansial atau kebebasan finansial. Sehingga buku ini mengklasifikasikan posisi seseorang dalam empat quadrant sesuai dengan sumber pemasukannya. Setiap quadrant berbeda dalam memperoleh penghasilannya, bahkan berbagai quadrant tersebut membutuhkan keterampilan dan kepribadian yang berbeda pula. Dan mungkin akan ada banyak orang yang bertanya-tanya, dari quadrant mana dirinya memperoleh sebagian besar penghasilannya. Sekalipun semua orang berpotensi untuk memperoleh penghasilan dari keempat quadrant tersebut. Dan sah-sah saja apabila seseorang hendak berpindah dari quadrant posisinya berdiri hari ini ke quadrant yang diimpikan.
Dengan mengetahui ciri dan karakter yang berbeda di masing-masing quadrant ini akan membantu untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang quadrant mana yang paling cocok bagi seseorang. Yang mengandalkan slip gaji teratur, tunjangan, dan keamanan pekerjaan termasuk dalam katagori Employee / pegawai, yang kemudian diberikan simbol “E”. Seorang “E” mendapatkan uang dengan mempunyai pekerjaan atau bekerja untuk orang lain. Ketidakpastian membuat mereka tidak bahagia, sehingga rasa takut mereka dipuaskan dengan derajat kepastian dalam mencari keamanan dan perjanjian yang mengikat dalam hal pekerjaan.
Sementara yang lain, Self-Employed / pekerja lepas dengan simbol “S” merupakan orang yang ingin menjadi bos bagi dirinya sendiri, mereka juga melakukan apa saja yang mereka mau tanpa ada tekanan dari siapapun. Para “S” adalah seorang perfeksionis sejati yang menamakan dirinya sebagai “kelompok-melakukan-sendiri”. Sebutan ini karena mereka adalah sekelompok orang yang tidak suka jika penghasilannya ditentukan oleh orang lain. Bagi mereka uang bukanlah hal yang terpenting, tetapi kemandirian dan kesempatan untuk mengekspresikan individualitas merekalah yang utama. Mereka ini diantaranya adalah; dokter, konsultan, pengacara, agen perjalanan, dan artis.
Kedua kelompok individu ini menempati sisi kiri cashflow quadrant. Kaum “E” dan “S” pada dasarnya merupakan orang yang berorientasi pada keamanan finansial, itu sebabnya mereka mencari pekerjaan yang aman, carier yang aman, memulai bisnis kecil yang bisa dikendalikan, serta menghindari resiko finansial. Itu pula yang mengakibatkan orang yang menempati sisi kiri cashflow quadrant ini bekerja seumur hidup untuk memperoleh uang.
Sedangkan kelompok lain ialah kelompok yang nyaris berlawanan dengan seorang “S”. Mereka adalah kelompok quadrant dengan simbol “B” atau business owner / pemilik usaha. Seorang “B” memiliki usaha yang menghasilkan uang, tanpa perlu ikut bekerja. Mereka justru memilih agar dirinya dikelilingi oleh orang-orang pandai untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tidak seperti “S” yang tidak suka mendelegasikan pekerjaannya. Kelompok “B” ternyata lebih senang jika pekerjaannya dapat diselesaikan oleh orang lain, sehingga mereka dapat menggunakan waktunya untuk menciptakan sebuah sistem, bukan sebuah pekerjaan.
Quadrant terakhir yakni kelompok yang diberi simbol “I” atau investor / penanam modal. Mereka membuat uang dengan uang, juga tak perlu bekerja keras karena uanglah yang bekerja untuk mereka. Kelompok ini mengupayakan pengembangan aset hingga mencapai titik dimana cashflow dari semua aset mereka lebih besar dari biaya hidup yang ditanggung. Kelompok “I” mempunyai aset nyata seperti real estate dan saham yang memberikan pemasukan pasif daripada pengeluaran. Akan tetapi ada banyak orang yang merasa takut untuk berinvestasi, dan kata “Resiko” merupakan alat legitimasi paling kuat yang membuat sebagian orang mundur untuk memulai bisnisnya. Padahal quadrant “I” tidaklah seberbahaya yang dibayangkan orang, hanya saja keterampilan untuk berhasil di quadrant “I” ini membutuhkan kerangka berfikir yang berbeda dengan quandrant yang lain.
Banyak keterampilan diperlukan untuk berada disisi quadrant kanan, menjadi kelompok “B” atau “I” yang lebih memilih kebebasan finansial daripada keamanan finansial. Bagi kedua quadrant ini gagasan untuk “bersekolah dan mencari pekerjaan yang aman dan menjamin” adalah gagasan bagus bagi orang yang hidup di era industri, bukan di era informasi seperti sekarang ini. Kecerdasan finansial yang dibutuhkan bukanlah seberapa banyak uang yang dihasilkan, tapi seberapa banyak uang yang disimpan, seberapa keras uang itu bekerja untuk seseorang, dan seberapa banyak generasi yang bisa dihidupi dengan uang tersebut.
Buku ini juga menceritakan tentang keadaan seseorang yang tunawisma hingga mencapai kebebasan finansial, maka tidaklah tepat apa yang sering didengar orang bahwa “dibutuhkan uang untuk menghasilkan uang”. Seorang tunawisma itu tidak membutuhkan uang untuk memulai, bahkan mempunyai banyak hutang. Tidak dibutuhkan ijazah perguruan tinggi dengan IPK komlud, tetapi pada akhirnya ia memproleh kebebasan finansial. Ia pun tak perlu bekerja lagi ketika usia 47 tahun, karena uanglah yang kemudian bekerja untuknya. Hanya dengan satu kalimat, “ambisi membangun bisnis, bukan rasa takut”.
The cashflow quadrant bukan bertindak seperti peramal yang mampu membaca masa depan dan garis nasib seseorang, tetapi merupakan jawaban atas persoalan finansial yang dihadapi masyarakat dewasa ini. Tulisan dalam buku ini banyak mengajarkan untuk “melek secara finansial”, sehingga seseorang tidak perlu bekerja seumur hidup untuk memperoleh uang, tetapi mempersiapkan diri untuk memperoleh kebebasan finansial di usia yang ditentukan. Meskipun uang bukanlah segalanya, tetapi sebagaimana pesan Robert T. Kiyosaki bahwa, ”bertanggungjawablah atas keuangan anda atau hanya menerima nasib sepanjang hidup anda. Anda bisa menjadi tuan atas uang atau budak uang. Terserah anda untuk memilihnya”. []

* Peresensi adalah Anggota komunitas baca Ouredingpark (Ourep) Kudus

Senin, 01 September 2008

Pendidikan bukan mencetak budak!



Pendidikan Vs Penjajahan gaya baru

"Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kritik mengalir, pendidikan jalan terus", begitu kiranya yang terjadi dalam dunia pendidikan kita hari ini. Ada sekian ketimpangan dalam system pendidikan Indonesia sehingga masih jauh dari harapan masyarakat. Tahukah kalian? Ada murid yang bunuh diri karena tidak mampu membeli buku dan membayar uang sekolah. Ada ribuan gedung sekolah yang kondisinya memprihatinkan. Juga ada banyak sekolah yang tidak memiliki buku yang memadai untuk mencerdaskan anak didiknya.
Dulu mungkin kita bisa berbangga diri karena Negara lain bersedia mengimpor guru dari Indonesia, namun sekarang Tenaga kerja Indonesia adalah yang "termurah" dan itupun hanya menjadi tenaga kerja kasar, seperti; pembantu rumah tangga, dan buruh pabrik dengan gaji minim. Bahkan yang lebih ironis, tidak sedikit rakyat Indonesia yang bekerja menjadi kuli dinegerinya sendiri. Negeri yang pernah kita dengar ketika SD sebagai negeri yang gemah ripah loh jinawi, subur sarwo tinandur. Negeri yang konon kaya raya akan sumber daya alam yang melimpah ruah. Ada yang ganjal barangkali dalam benak kalian tentang kondisi ini. Lantas kemana perginya aset-aset Negara yang seharusnya mampu mensejahterakan rakyatnya tesebut?
Barangkali menjadi sebuah pemakluman jika ada pejabat kita tertangkap basah ketika tersandung kasus Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sedangkan di sekolah murid-murid hanya dijejali dengan materi-materi pelajaran yang segudang. Sementara itu, guru mereka sibuk sendiri dengan pemberlakuan Undang-Undang Guru dan Dosen yang akan meningkatkan tarah hidup mereka. Sehingga sertivikasi menjadi sebuah keniscayaan. Sementara itu, negara bertindak semaunya dengan memberlakukan Undang_Undang yang anti rakyat sebagai alat legitimasi untuk kepentingan pemodal asing.
Ternyata Indonesia masih belum merdeka 100%, karena kemerdekaan bukan hanya pembacaan proklamasi un sich, tapi kemerdekaan adalah ketika rakyat Indonesia sudah benar-benar mampu keluar dari ketertindasan yang dihadapinya. Karena disadari atau tidak, penjajahan gaya baru ini kian mencekik kondisi rakyat Indonesia dengan penguasaan aset-aset negara oleh pemodal asing. Freeport, kilang minyak blok cepu, coca cola, danone, indosat, telkomsel, dan masih banyak lagi deretan aset negara yang sengaja digadaikan. Sementara rakyat Indonesia sebagai pemiliknya tidak mendapatkan apa-apa. Jadi sangat wajar ketika ada banyak kasus kriminal yang terjadi belakangan ini akibat kondisi ekonomi politik kita yang carut marut.
Sementara itu, pola pendidikan kita paling jauh hanya akan merubah penafsiran seseorang terhadap situasi yang dihadapinya, namun tidak akan mampu merubah realitas yang terjadi dalam dirinya dan masyarakat disekitarnya. Dan ini harus menjadi catatan bagi kita terlebih di usia hamper 63 tahun kemerdekaan Indonesia. Oleh sebab itu, pendidikan seharusnya menjadi sarana pembebasan yang mampu menjadi media untuk mengakomodir seluruh kebutuhan masyarakat agar ketertindasan bisa segera dihancurbuyarkan. Karena pendidikanlah kunci utama untuk membangun kesadaran masyarakat akan ketertindasannya yang terjadi..
Maka menjadi tugas kita sebagai mahasiswa untuk merubah pola yang keliru ini dengan menyuntikkan formula baru kepada masyarakat agar mereka sadar bahwa yang mereka hadapi hari ini bukanlah penjajahan konvensional dengan moncong senjata, melainkan penjajahan gaya baru yang mengkontaminasi rakyat dengan paradigma kapitalistiknya, sehingga menciptakan masyarakat yang pragmatis, oportunis dan serba instan. (Wid)

Menolak tunduk, menuntut tanggung jawab



Sadar untuk bertindak

“… Serangan musuh dapat dilumpuhkan, namun tiada tentara yang mampu menahan sebuah ide yang tiba waktunya menyatakan diri”, (Victor Hugo)
Kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja terlatih dalam jumlah besar merangsang adanya ekspansi universitas untuk mencetak “proletarisasi” tenaga intelektual yang tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis. Yang mana hal tersebut tidak berhubungan sama sekali dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia. Dan tentu saja keterasingan tenaga intelektual tersebut menimbulkan keresahan yang sukup serius, sehingga muncullah geliat dari kaum muda untuk menduduki posisi sebagai pelopor dalam pemicu kesadaran bertindak masyarakat. Bahkan secara sadar mereka (baca: pemuda) seharusnya bertanggungjawab untuk merumuskan secara sistematis perbaikan kondisi masyarakat yang terpinggirkan.
Inilah yang kemudian menjadi penyebab utama, mengapa rakyat Indonesia dengan ketangguhan mental itu bisa mengalami sekian ratus tahun periode penindasan. Bahkan sampai saat ini pun masih harus tertahan kemenangannya. Dan bukanlah mahasiswa yang dengan “kebanggaan semu”nya mengobralkan teori dan kesombongan sebagai pemasok kesadaran ke kepala rakyat. Akan tetapi ia (baca: mahasiswa) seharusnya menjadi penghubung antara keliatan fikiran dan kearifan mereka dengan fase-fase perjuangan dalam menyusun kemerdekaan. Dan sebagai kekuatan produktif, daya juang serta daya tahan ekonomi politik mahasiswa akan menjadi gelombang besar dalam pergerakan rakyat bersama pemimpin organisasi perjuangan yang bersedia “merdeka” seutuhnya, tentunya tanpa menjual idealisme demi kepentingan politis.
Berjuang dan bertahan
Merupakan suatu hal yang naif apabila percaya begitu saja bahwa sistem pendidikan adalah netral. Karena real, pendidikan hari ini selain mampu melahirkan pencerahan dan pembebasan, namun juga melahirkan ketertundukan massa kaum penindas atas mereka yang ditindas. Pendidikan haruslah kritis, dengan pengertian bahwa pembebasan ilmu dan pengetahuan selayaknya untuk dibebaskan dari selubung-selubung penindasan yang bersembunyi di balik kata “objektif”. Atau dengan kata lain, kurikulum pendidikan seharusnya dapat disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat, sehingga memunculkan emansipatoris bukan keterasingan.
Sejarah pun tidak berakhir begitu saja dengan kemapanan kapitalisme dan demokrasi liberalnya. Maka harus ada yang didorong oleh pengetahuan yang berasal dari sejarah penindasan dalam menuntut perubahan. Karena harus diakui bahwa kapitalisme itu besar, kuat, lentur, dan juga sombong, sehingga penindasan karenanya memiliki kompleksitas. Namun perlawanan juga memiliki kecerdasan, taktik grilya dan strategi untuk memecahkan konsentrasi kekuatran besar. Dengan demikian perlawanan harus bersifat semesta pada seluruh sektor, karena mahasiswa bukan satu-satunya entitas yang akan menjadi motor penggerak perubahan. Ia hanya sebagian kecil dari rakyat. Oleh karenanya kita tidak berbicara atas nama “mahasiswa” dengan segala ke”maha”aannya, tapi berbicara atas nama “pemuda” sebagai satu kesatuan utuh seluruh entitas dalam masyarakat yang akan mendorong perubahan. Karena mpemuda adalah satu-satunya tenaga yang tersisa ketika rakyat tidak lagi menemukan kawan. Pemudalah yang akan menjadi motor penggerak perubahan tersebut. Dan dengan spirit gerakannya, ia mampu mendobrak keterasingan manusia akibat ketertindasan yang dialami.
Membangun organ revolusioner
Meluasnya isu pendidikan kemudian menjadi isu populis, hingga mendorong kontradiksi antara rakyat miskin dengan kapitalisme, seperti komersialisasi pendidikan, swastanisasi lembaga pendidikan, dan masih banyak lagi isu-isu yang lain, maka menjadikan organisasi sangat penting artinya. Karena ialah yang mampu mendorong kesadaran massa untuk bertindak, untuk menciptakan ruang opini yang lebih luas dengan melakukan oto kritik terhadap kebijakan negara yang anti rakyat.
Maka pilihan untuk “mendidik rakyat dengan pergerakan, mendidik penguasa dengan perlawanan”, merupakan sebuah keniscayaan untuk memotong paradigma masyarakat yang kapitalistik. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya organ yang revolusioner yang mampu mengorientasikan pergerakan rakyat sebagai controlling, serta mereduksi apa yang ada dalam fikiran rakyat untuk mendorong negara menjadi revolusioner. Dan negara yang berada dalam nafas kebudayaan yang terengah ini akan mampu menemukan jalan untuk memaknai setiap perubahan dalam kesadaran budaya sebagai ilmu pengetahuan dan alat menuju perubahan ke hajat hidup yang seimbang dari gempuran negara dan modal. Karena keterpaksaan menuju masyarakat industri ialah pelanggaran hak yang nyata atas masyarakat.
Maka disinilah posisi pemuda dalam cita-cita pergerakan menjadi sangat penting, bukan difungsikan sebagai ruang untuk mencetak kader-kader pragmatis yang hanya berorientasi pada kepentingan kelompok, melainkan dipergunakan sebagai ruang untuk menyiapkan kader-kader intelektual terdidiknya dalam rangka penyikapan atas ketimpangan kondisi sosial masyarakat. Jadi berhentilah menepuk dada, mencari kambing hitam, dan menuduh tidak ber-Tuhan. Karena yang urgent dibutuhkan oleh bangsa ini adalah civic education (pendidikan politik bagi warga negaranya). Politik yang dimaknai disini bukanlah politik kekuasaan yang membuat banyak orang hanya terjebak pada persoalan “menguasai” dan “dikuasai”. Itulah mengapa kita perlu mengantarkan rakyat Indonesia pada kesadaran dan tindakan yang lebih utuh dalam memaknai perjuangan. Karena proses pemulihan sejarah rakyat dilakukan dengan mensiasati penindasan yang dihubungkan dengan proses mempersiapkan pembebasan untuk menciptakan organ revolusioner. Organ yang dipahami akan membekali rakyat dengan kritisisme terhadap moda produksi dan negara, sehingga rakyat mampu memberdayakan diri secara pengetahuan, ekonomi, dan pilitik.
Oleh karenanya, dalam perspektif masyarakat, bagaimana negara, partai politik, dan birokrasi ini mampu menyerap artikulasi dari grass root dan bukan sebagai alat borjuasi. Sehingga rakyat mampu memasuki tahap kesadaran masyarakat yang revolusioner. (Wid)

gerakan ekstraparlementer


Golputmu, golput yang mana?
Oleh : MayshizaWidya Uyex

“Pemilihan umum telah menipu kita
Seluruh rakyat di paksa gembira
Hak demokrasi dikebiri, rakyat kita belum merdeka
Wakil rakyat tidak dapat dipercaya, untuk itu kita golput saja…”

Kutipan lagu “Golput” yang diplesetkan dari lagu “Pemilihan umum” kerap kali terdengar dicuping telinga kita oleh para aktivis pergerakan yang melakukan aksi demonstrasi. Mereka memberikan pernyataan, bahwa “Golput” dianggap sebagai sikap politik dalam pemilihan bupati, gubernur, wali kota, bahkan presiden. Hal ini tidaklah mengherankan, teriakan “Golput” disepanjang jalan tersebut bisa jadi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang sudah bobrok di negeri ini.
Kondisi Indonesia yang kian terpuruk dari hari ke hari ini diakibatkan oleh adanya perselingkuhan yang dilakukan antara pemerintah dengan pemodal asing yang sengaja menelurkan sekian kebijakan negara yang anti rakyat. Kebijakan-kebijakan negara tersebut seolah hanya sebagai legitimasi untuk semakin membuat rakyat makin tenggelam dalam pemiskinan dan pembodohan.
Banyak undang-undang baru diberlakukan, seperti; UUK No.13 / 2003, Perpres No.13 / 2003, UU No.9 / 2003, dan sebagainya yang semua itu diatasnamakan “kepentingan rakyat”. Jadi sangatlah wajar, jika masyarakat menjadi tidak bergeming menghadapi pemilu. Dan ketika kursi kekuasaan sudah berada dalam genggaman, janji-janji ketika kampanye tidak pernah ada realisasi yang nyata. Bahkan artikulasi rakyat dibungkam karena dianggap melawan sistem.
Politik makin tak manusiawi
Kita bisa saksikan maraknya kampanye partai politik (parpol) yang menawarkan janji-janji surga dan kian membuat masyarakat terninabobokan. Terlebih dalam detik-detik terakhir mendekati pemilihan gubernur atau wali kota. Layaknya sebuah perlombaan, partai politik pun mulai unjuk gigi di hadapan masyarakat untuk sekedar menarik simpati. Bahkan tak segan pula, uang puluhan ribu dibagi-bagikan kepada setiap kepala agar memilih calon yang mereka usung.
Dan dengan dalih “pesta demokrasi” itu pula masyarakat kemudian diposisikan sebagai objek. Mereka dieksploitasi secara membabi-buta hanya untuk kepentingan politik. Lihat saja, hanya dalam momentum seperti itu saja mereka dipuja-puja layaknya seorang raja. Selebihnya, para politisi tersebut tidak akan mau tahu apalagi ambil pusing tentang nasib si miskin yang tidak mampu membayar sekolah anaknya, tentang si pedagang kaki lima (PKL) yang digusur dengan alasan penertiban, atau tentang nasib buruh yang di PHK secara massal.
Lapangan pekerjaan, pendidikan gratis, pengobatan murah, dan janji-janji lainnya terus saja dijejalkan di telinga masyarakat dengan harapan agar mereka berkenan memberikan hak pilihnya dengan suka rela. Namun, pasca pemilu tak ada lagi gaung yang menyerukan tentang pembelaan atas nama rakyat lagi. Aspirasi rakyat tidak lagi diindahkan, seolah mereka telah lupa dengan janji-janji yang dikoar-koarkan ketika kampanye.
“Yang kuat selalu menindas yang lemah”, begitulah yang digambarkan dalam panggung politik kita hari ini. Tak ada lagi yang benar-benar berbicara untuk kepentingan rakyat. Bahkan kalimat “atas nama kepentingan rakyat” pun mereka politisir. Barangkali itu pula yang membuat masyarakat menjadi geram, sehingga angka “Golput” dalam pemilu melonjak tajam layaknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Golput itu pilihan
Dari tahun ke tahun pun tidak juga terlihat adanya perubahan yang signifikan. “Janji tinggallah janji”, begitu kiranya ungkapan yang tepat ketika janji-janji itu tak terealisasi hingga masa jabatan usai. Sehingga sangatlah wajar apabila banyak masyarakat yang kemudian tidak bersedia memberikan hak suaranya dalam pemilu.
Ada beberapa indikasi, mengapa mereka melakukan hal tersebut. Meskipun sebenarnya sah-sah saja jika masyarakat memilih “golput” dalam pemilu. Bisa jadi karena mereka benar-benar sudah muak terhadap kondisi bangsa yang carut marut ini, sehingga “Golput” sebagai bentuk keapatisan. Atau mereka sengaja memilih sikap “Golput” karena tidak ada kucuran dana pemilu dari para kandidat maupun parpol pengusung calon.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memberikan stastement bahwa Golput merupakan sikap politik? Disinilah kemudian terjadi banyak penafsiran dalam menanggapi pernyataan tersebut. Sikap politik “Golput” bisa jadi karena partai yang mengusungnya tidak lulus verifikasi atau ada kepentingan pribadi maupun golongannya yang tidak terakomodir dalam parpol.
Kemungkinan lainnya, sikap “golput” dianggap lebih efektif daripada memberikan hak suaranya untuk pasangan calon yang dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan persoalan bangsa. Sehingga pilihan politik dengan jalan ekstraparlementer bukan menjadi batu loncatan, melainkan sebagai pilihan sikap yang mencitrakan kepada masyarakat bahwa harus ada yang berani memulai untuk sebuah cita-cita perubahan. Karena momentum itu diciptakan, bukan ditunggu!

Minggu, 06 Juli 2008

Buruh seluruh dunia, bersatulah!!!



Indonesia; negara kuli?
Mayshiza Widya Uyex
“Setiap orang berhak memperoleh penghasilan untuk memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, demikian bunyi pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Perburuhan tentang pengupahan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa upah buruh memang menyisakan banyak persoalan, baik dari pihak buruh sendiri maupun pihak pengusaha. Bagi pengusaha, upah dipandang sebagai beban. Karena semakin besar upah yang dibayarkan kepada buruh, maka semakin kecil proporsi keuntungan pengusaha. Misalnya saja; uang tunai (gaji), tunjangan beras, pengangkutan, kesehatan, konsumsi pada saat menjalankan tugas, pembayaran upah waktu libur, cuti, dan sakit, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), dan lain-lain.
Sementara itu, kemampuan menejemen perusahaan juga turut mempengaruhi sistem pengupahan. Keborosan dana, waktu yang terbuang percuma sehingga buruh tidak bekerja secara efektif, dan biaya produksi yang mahal memunculkan problem baru. Belum lagi, tidak seragamnya upah yang diberikan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain menimbulkan permasalahan dalam merumuskan kebijakan nasional, sehingga hal ini berpengaruh terhadap penentuan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur, dan seterusnya.
Bagi buruh, upah menjadi sangat penting nilainya karena itu adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara wajar. Sedang kewajaran tersebut diukur dari kebutuhan hidup minimum atau yang sering disebut dengan kebutuhan fisik minimum (KFM). Upah yang hanya “pas-pasan” dan penetapan upah minimum regional (UMR) yang tidak cukup menggembirakan semakin memperparah kondisi buruh dalam posisinya yang didesain untuk “hidup serba sederhana”, ditambah peluang mobilitas vertikal yang sempit dan desakan hidup yang meningkat menjadikan psikologi resistensi buruh melemah.
Buruh juga terbentur pada kebutuhan fisik yang tidak hanya berupa sandang, pangan, dan papan saja. UMR yang jauh dari kebutuhan hidup layak (KHL) membuat mereka harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Begitu cepatnya laju pertumbuhan ekonomi membuat kaum buruh rela menjadi tenaga kerja murah dengan perpanjangan jam kerja.
Disisi lain, pemerintah tidak mampu mengambil perannya. Bahkan turut andil dalam proses eksploitasi terhadap buruh yang kemudian melanggengkan kemiskinan. Perubahan UMR setiap tahun juga tidak memberi kepuasan kepada buruh, justru mereka terus saja “dikerjai” dengan kebijakan negara yang anti-rakyat. Melambungnya harga kebutuhan pokok, kelangkaan minyak tanah yang kemudian menghasilkan kebijakan konversi kompor gas yang kerap kali meledak dan menimbulkan kebakaran, penggusuran tanah, maraknya PHK massal, dan juga rencana pembatasan pembelian BBM yang bersubdisi makin memperpuruk kondisi rakyat kecil, seperti buruh.
Perusahaan-perusahaan juga tak henti-hentinya menekan pemerintah dengan jargon “investor henkang”, “industri akan tutup”, dan beralih serta untuk membatalkan investasinya jika UMR dinaikkan. Dengan kata lain, meskipun sejumlah undang-undang telah disahkan oleh pemerintah berkenaan dengan kasus buruh, seperti Undang-Undang Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan; Undang-Undang pasal 136 tentang perselisihan hubungan industrial, Undang-Undang No.21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antar serikat buruh dan majikan. Akan tetapi tidak ada realisasi terhadap praktik Undang-Undang tersebut.
Eksploitasi terhadap kaum buruh seakan dianggap sebagai satu-satunya jalan dalam pembangunan ekonomi negara. Peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh pemerintah hari ini ternyata tidak berhasil menghapuskan pemiskinan dan penindasan terhadap kaum buruh. Bahkan pemerintah seakan dengan cukup efektif menggelapkan fakta bahwa perusahaan dan buruh tidak mempunyai tujuan yang sama sebagaimana yang dibicarakan tentang etika dan kemitraan. Kedua belah pihak masih juga terpasung dsalam sebuah perjuangan kelas yang klasik, sehingga “pengusaha adalah mitra buruh” dan “buruh adalah mitra pengusaha” tak lebih hanya retorika kosong.
Hari buruh internasional yang jatuh pada tanggal 1 mei itu pun tak lebih hanya sekedar momentum belaka. Kampanye yang membuat masyarakat lebih “melek” mengenai persoalan buruh juga sudah dilakukan, tetapi seolah Tidak ada solusi yang signifikan untuk menjawab kompleksitas masalah perburuhan. Dan Indonesia akan tetap menjadi “negara kuli” selama persoalan buruh ini tidak juga diselesaikan.

Tanahku bermandikan darah, dikuras habis dan lelah



Land Reform atau Penghianatan Rakyat?
Oleh: Mayshiza Widya Uyex

“Hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bgi masyarakat”, (Penjelasan II, 4 UUPA)
Sengketa agraria nampaknya abadi di negeri ini, dan memang benar-benar njlimet. Sejak zaman kolonial, sampai tahun-tahun awal republik, masalah ini tidak pernah tuntas, bahkan semakin menyudutkan posisi rakyat kecil sebagai pihak yang paling dirugikan. Masalah pun menjadi parah manakala rezim pembangunan ekonomi (baca: orde baru) yang serba terpusat menjadi tergantung pada penanaman modal asing.
Lahirnya berbagai produk hukum resmi yang lebih mendukung para pemodal dan pemerintahan menjadi alat legitimasi untuk melakukan penguasaan atas tanah rakyat dengan dalih “kepentingan umum”, “demi pembangunan nasional”, dan sebagainya. Kasus sengketa tanah pun mulai marak dimana-mana dan masih terus berlangsung sampai sekarang.
Pembangunan dan Penghianatan
Pembangunan memang selalu menjadi topik hangat yang kerapkali diperbincangkan diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebut saja pembangunan real estate kenamaan yang gila-gilaan memberi tawaran fasilitas menggiurkan, seperti; Cibubur Country, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading Square, dan masih banyak lagi. Padahal bersamaan itu pula banyak terjadi kasus-kasus penggusuran diberbagai daerah, mulai dari lapak pedagang kaki lima, pasar tradisional, sampai pemukiman penduduk.
Pembangunan yang disebut-sebut itu memang merupakan bagian dari proses multidimensi, dimana hal tersebut mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, yang tentunya bukan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Tak ayal, hal ini membutuhkan adanya infrastruktur, termasuk didalamnya pengadaan lahan. Sementara itu, permasalahan yang terkait dengan pembebasan lahan privat untuk kepentingan publik senantiasa menimbulkan polemik. Bahkan sedemikian kompleksnya, sehingga tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan-peraturan yang sudah ada.
Sekian lama pula sejarah kebangsaan telah dibisukan dengan propaganda-propaganda kosong dan manipulasi kesadaran massa. Kebebasan untuk bertindak justru membawa rakyat kecil pada intimidasi dan kekerasan, sekaligus konfrontasi dengan hukum. Ada ratusan bahkan ribuan kasus sengketa tanah yang tak terselesaikan dan tak jarang berakhir dengan penggusuran juga perampasan lahan. Sungguh sangat ironis karena ternyata hal ini berlangsung di negara yang sudah merdeka selama 63 tahun.
Dewasa ini sering kita saksikan pula bagaimana para aparat pemerintahan dengan ringan tangan melakukan preasure terhadap rakyat kecil untuk meninggalkan lahan yang selama bertahun-tahun mereka tempati. Global warming menjadi salah satu isu sentral terhangat yang digulirkan kepermukaan untuk melegitimasi perampasan tanah rakyat. “Pengadaan lahan hijau” merupakan jurus paling jitu untuk semakin menenggelamkan rakyat kecil dalam keterpurukan. Belum lagi ganti rugi yang diberikan tidaklah sebanding, bahkan mungkin tidak cukup masuk akal.
Diam Tertindas atau Bertindak Melawan?
Tanah memang merupakan arti penting dalam kehidupan manusia. Karena hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung dan bersumber pada tanah, baik itu sebagai lahan pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan dan sebagainya. Ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Meskipun sudah ditetapkan kebijakan pertanahan oleh pemerintah, namun tak dapat dipungkiri bahwa kebijaksanaan tersebut tidak terlepas dari adanya pengaruh prioritas-prioritas berbagai kepentingan. Seperti kelompok bisnis dan industri yang paling banyak mempunyai akses pada proses perumusan kebijaksanaan negara. Maka kebijaksanaan alokasi tanah cenderung berpihak pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tentunya dengan mengesampingkan kepentingan dan hak-hak rakyat miskin. Inilah yang kemudian melatarbelakangi berbagai unjuk rasa dan menuai aksi protes dalam kasus –kasus tanah.
Gemuruh keberanian pada jantung kejidupan rakyat kecil untuk melakukan aksi demonstrasi dijalan-jalan dengan bendera nasional dipandang sebagai bentuk pemberontakan atas penghinaan nasional, kesengsaraan ekonomi, dan kekecewaan terhadap demokrasi. Bisa jadi hal ini diilhami oleh keberanian rakyat kecil untuk ikut serta dalam perjuangan mencapai kemerdekaan hak dan keadilan sosial. Sebagaimana slogan yang diteriakkan oleh Ernesto “Che” Guevara dengan Land Reform-nya. Slogan yang kemudian menggerakkan massa rakyat yang tertindas untuk maju dan merebut kembali tanah yang seharusnya menjadi milik mereka.
Demikian pula yang dikemukakan Adolf Hitler; “Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang menginspirasikan massa mengangkat senjata”. Sehingga jelaslah sudah bahwa hanya ditangan orang-orang yang bernyali saja perjuangan menuju perubahan yang revolusioner akan terjadi. Tentunya bukan tanpa posisi tawar. Maka sudah saatnya seluruh tenaga dan fikiran kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi, dan perjuangan segera dan seutuhnya menjadi milik sadar massa.[]

*Penulis adalah Ketua Kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Kudus.

Panggung Kreasi




Bunting
Mayshiza Widya Uyex

Ibu pernah bercerita tentang tetangga Bulek di kota yang bunting duluan sebelum menikah. Eh, hamil. Saat itu aku tak memberi komentar apa-apa, hanya tertawa sengit. Karena ekspresi itu bisa bermakna ganda. Kemungkinan pertama, aku dianggap menertawakan kebodohan mereka yang kecolongan. Kok bisa sih sidah banyak beredar “pengaman”, tapi tetep bocor juga.
Kemungkinan yang kedua, aku turut bahagia atas keberhasilan mereka memproduksi anak. He…he…he…
“Hei, kok bengong?”.
“Nggak, aku hanya ingat ibu”.
“Emang ada apa?”.
“Aku sedang gelisah, mas. Sudah beberapa hari ini aku telat”.
“Telat ke kantor? Tapi nggak sampai dipecat sama bosmu’kan?”.
“Bukan telat yang itu, tapi telat menstruasi!”.
“Apa? Kok bisa?”.
“Kok bisa katamu? Harusnya aku yang bertanya”.
“Aku belum mau punya anak!”.
“Kau pikir aku mau? Aku belum menikah, mana mungkin aku mau punya anak?”.
“Kalau kamu bunting beneran, kita gugurkan saja”.
“Apa? Itu namanya kamu nggak bertanggungjawab”.
“Pertanggungjawaban yang bagaimana yang kamu minta? Mengawinimu? Itu gila!”.
“kenapa gila? Bukankah sewajarnya kalau kamu mengawiniku. Aku bunting juga karenamu, mas!”.
“Karenaku?”.
“Ya, itu ulahmu!”.
“Ulahmu juga’kan?”.
“Aku nggak mau membunuh anak ini”
“Tidak ada pilihan lain”.
“Tapi aku tak pernah bunuh orang, apalagi dia anakku, darah dagingmu, buah cinta kita!”.
“Cinta? Bulshiit… kalau kamu mencintaiku, kita gugurkan sebelum dia tumbuh besar dalam rahimmu!”.
***
“Bagaimana kesehatanmu, sudah baikan?”.
“Lebih buruk dari sebelum membunuh anakku!”.
“Dia belum berbentuk janin, baru segumpal darah dan belum bernyawa. Jadi tidak bisa disebut membunuh orang”.
“Kamu memang brengsek, mas. Bapak mana yang tega membunuh anaknya sendiri?”.
“Sudahlah, dia memang diciptakan untuk tidak dilahirkan didunia ini”.
“Begitu menurutmu?”.
“Ya. Main lagi yuk… aku kangen goyanganmu!”.
“Kamu gila?”.
“Ya, aku tergila-gila padamu”.
Setelah itu aku melakukan juga apa yang diinginkan pacarku. Kemudian menjadi sering melakukannya selayaknya rutinitas harian. Ternyata berhasil. Yeah, aku bunting untuk kedua kalinya. Lagi-lagi pacarku ingin menggugurkannya. Sementara aku bersikeras untuk melahirkannya.
Kami bertengkar hebat. Saling maki, tampar, tendang, bahkan saling cekik. Aku berteriak histeris ketika melihat pacarku tak bernyawa lagi. Dulu aku membunuh bayi dalam rahimku, sekarang aku membunuh bapak dari bayi yang kini kukandung. Kemudian tubuhku lunglai dan tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
***
“bagaimana kondisinya, dok?”.
“Dia hamil, bu. Kandungannya lemah. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, putri anda gila!”.
Mendengar itu, ibu pun terkejut dan pingsan.

* Penulis adalah penikmat sastra, dan sekarang sedang menyelesaikan penulisan novelnya yang berjudul; “Retorika Cinta”.

Wajah Puisi


Mayshiza Widya Uyex

Narasi laki-laki penggoda

Sungguh; aku tak pernah mengundangnya untuk bertandang ke bilik jantungku
Dia telah lancang memasukinya dengan cara paksa
Menjejaliku dengan menu-menu cintanya
Yang membuat perutku mual dan ingin muntah
Karena hidangan yang di saji tidak cocok dilidahku. Barang kali.

Ingin kulempar dia keluar
Ia dengan kurang ajar melumat bibirku dengan bibirnya
Bahkan berani menjulurkan lidahnya memasuki relung hatiku
Menyusuri ruang pengap, yang tandus dan gersang
Ia makin beringas dengan menjejakkan bayangnya
Ke setiap sendi dan lekuk tubuhku
Membangkitkan naluli purbakalaku

Dan kata-kata mulai tenggelam
Larut dalam gairah
Jepara, 18 november 2006

Sajak (tentang) waktu

Beri aku sedikit waktu
Hanya untuk menata kembali hatiku!
Akhir november, 2006

Do'a (dalam) takut

Selamatkan aku!
Akhir tahun, 2006

NEKOLIM


EKONOMI INDONESIA DALAM PENGARUH GLOBALISASI
Mayshiza Widya Uyex

Ya! Ada yang jaya
Ada yang terhina
Ada yang bersenjata
Ada yang terluka
Ada yang duduk
Ada yang diduduki
Ada yang berlimpah
Ada yang terkuras
Dan disini kita bertanya
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Penggalan sajak yang ditulis oleh Rendra diatas seakan mengingatkan kita tentang kontradiksi sosial yang tak pelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam sebuah kekuasaan memang selalu saja ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Ada kaum borjuasi dan ada kaum proletariat. Dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global, apalagi perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka dalam kancah ekonomi global, mulai dari perdagangan, arus modal masuk dan keluar (capital inflow and outflow), juga kegiatan pemerintah melalui penarikan dan pembayaran hutang luar negeri. Terlebih ketika ada sekian banyaknya modal yang bercucuran kesana kemari dengan leluasa di negara berkembang, seperti Indonesia.
Komputer, perangkat lunak, dan internet menjadi jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang sudah “kadaluarsa”. Ini menunjukkan bahwa industri manufaktur sedang berpindah ke negara dunia ketiga, dan “keajaiban ekonomi” yang sering diteriakkan itu terbukti hanya sekedar retorika kosong belaka.
Sementara itu, pemerintah yang mengasihani warganya hanya bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang menarik bagi para investor, yakni dengan memberikan penawaran seperti pajak rendak, tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional dengan upah yang melarat, serikat buruh lemah, dan regulasi minimal.
Perekonomian Indonesia yang hampir ambruk secara total tersebut memang menimbulkan konflik yang luar biasa. Indonesia menjadi semakin terjerumus kepada krisis kemandegan ekonomi yang tiada henti. Tingginya angka kemiskinan, maraknya pengangguran, permasalahan pangan yang berdampak pada kelaparan dan kematian, bahkan efek rumah kaca pun menjadi ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia. Penindasan dan eksploitasi kemudian dimengerti sebagai sisi dari satu sistem global, sedangkan kaum penguasa kapitalis yang berafiliansi dengan pemerintah belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit mereka.
Kondisi ekonomi semacam ini jelas tidak boleh didiamkan begitu saja. Skenario “globalisasi” telah mengekspos kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrinnya. Mereka memunculkan asumsi publik bahwa negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas akan mengalami perbaikan nasib. Terlebih dengan adanya intervensi kebijakan dari lembaga-lembaga internasional, seperti; WTO, IMF, dan Word Bank. Parahnya, aparatus negara yang harusnya berperan dalam kegiatan pokok ekonomi nasional dan internasional kini tidak bisa berbuat apa-apa. Dan restrukturalisasi dunia telah terjadi, sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi dari pemerintah sudah tercapai. Penjualan BUMN kepada swasta, melemahnya regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, penghapusan semua proteksi ekonomi melalui bea cukai, serta penghapusan subsidi pada bahan pokok merupakan kemenangan mutlak dari pasar bebas.
Kesengsaraan rakyat miskin harus segera diakhiri, sehingga dibutuhkan adanya sebuah gerakan yang akan menyatukan banyak sektor sebagai upaya perlawanan terhadap globalisasi. Dan jika regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah, maka dibutuhkan persepsi individu dan pengetahuan para individu untuk dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial.