My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Senin, 01 September 2008

gerakan ekstraparlementer


Golputmu, golput yang mana?
Oleh : MayshizaWidya Uyex

“Pemilihan umum telah menipu kita
Seluruh rakyat di paksa gembira
Hak demokrasi dikebiri, rakyat kita belum merdeka
Wakil rakyat tidak dapat dipercaya, untuk itu kita golput saja…”

Kutipan lagu “Golput” yang diplesetkan dari lagu “Pemilihan umum” kerap kali terdengar dicuping telinga kita oleh para aktivis pergerakan yang melakukan aksi demonstrasi. Mereka memberikan pernyataan, bahwa “Golput” dianggap sebagai sikap politik dalam pemilihan bupati, gubernur, wali kota, bahkan presiden. Hal ini tidaklah mengherankan, teriakan “Golput” disepanjang jalan tersebut bisa jadi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang sudah bobrok di negeri ini.
Kondisi Indonesia yang kian terpuruk dari hari ke hari ini diakibatkan oleh adanya perselingkuhan yang dilakukan antara pemerintah dengan pemodal asing yang sengaja menelurkan sekian kebijakan negara yang anti rakyat. Kebijakan-kebijakan negara tersebut seolah hanya sebagai legitimasi untuk semakin membuat rakyat makin tenggelam dalam pemiskinan dan pembodohan.
Banyak undang-undang baru diberlakukan, seperti; UUK No.13 / 2003, Perpres No.13 / 2003, UU No.9 / 2003, dan sebagainya yang semua itu diatasnamakan “kepentingan rakyat”. Jadi sangatlah wajar, jika masyarakat menjadi tidak bergeming menghadapi pemilu. Dan ketika kursi kekuasaan sudah berada dalam genggaman, janji-janji ketika kampanye tidak pernah ada realisasi yang nyata. Bahkan artikulasi rakyat dibungkam karena dianggap melawan sistem.
Politik makin tak manusiawi
Kita bisa saksikan maraknya kampanye partai politik (parpol) yang menawarkan janji-janji surga dan kian membuat masyarakat terninabobokan. Terlebih dalam detik-detik terakhir mendekati pemilihan gubernur atau wali kota. Layaknya sebuah perlombaan, partai politik pun mulai unjuk gigi di hadapan masyarakat untuk sekedar menarik simpati. Bahkan tak segan pula, uang puluhan ribu dibagi-bagikan kepada setiap kepala agar memilih calon yang mereka usung.
Dan dengan dalih “pesta demokrasi” itu pula masyarakat kemudian diposisikan sebagai objek. Mereka dieksploitasi secara membabi-buta hanya untuk kepentingan politik. Lihat saja, hanya dalam momentum seperti itu saja mereka dipuja-puja layaknya seorang raja. Selebihnya, para politisi tersebut tidak akan mau tahu apalagi ambil pusing tentang nasib si miskin yang tidak mampu membayar sekolah anaknya, tentang si pedagang kaki lima (PKL) yang digusur dengan alasan penertiban, atau tentang nasib buruh yang di PHK secara massal.
Lapangan pekerjaan, pendidikan gratis, pengobatan murah, dan janji-janji lainnya terus saja dijejalkan di telinga masyarakat dengan harapan agar mereka berkenan memberikan hak pilihnya dengan suka rela. Namun, pasca pemilu tak ada lagi gaung yang menyerukan tentang pembelaan atas nama rakyat lagi. Aspirasi rakyat tidak lagi diindahkan, seolah mereka telah lupa dengan janji-janji yang dikoar-koarkan ketika kampanye.
“Yang kuat selalu menindas yang lemah”, begitulah yang digambarkan dalam panggung politik kita hari ini. Tak ada lagi yang benar-benar berbicara untuk kepentingan rakyat. Bahkan kalimat “atas nama kepentingan rakyat” pun mereka politisir. Barangkali itu pula yang membuat masyarakat menjadi geram, sehingga angka “Golput” dalam pemilu melonjak tajam layaknya harga bahan bakar minyak (BBM).
Golput itu pilihan
Dari tahun ke tahun pun tidak juga terlihat adanya perubahan yang signifikan. “Janji tinggallah janji”, begitu kiranya ungkapan yang tepat ketika janji-janji itu tak terealisasi hingga masa jabatan usai. Sehingga sangatlah wajar apabila banyak masyarakat yang kemudian tidak bersedia memberikan hak suaranya dalam pemilu.
Ada beberapa indikasi, mengapa mereka melakukan hal tersebut. Meskipun sebenarnya sah-sah saja jika masyarakat memilih “golput” dalam pemilu. Bisa jadi karena mereka benar-benar sudah muak terhadap kondisi bangsa yang carut marut ini, sehingga “Golput” sebagai bentuk keapatisan. Atau mereka sengaja memilih sikap “Golput” karena tidak ada kucuran dana pemilu dari para kandidat maupun parpol pengusung calon.
Lalu bagaimana dengan mereka yang memberikan stastement bahwa Golput merupakan sikap politik? Disinilah kemudian terjadi banyak penafsiran dalam menanggapi pernyataan tersebut. Sikap politik “Golput” bisa jadi karena partai yang mengusungnya tidak lulus verifikasi atau ada kepentingan pribadi maupun golongannya yang tidak terakomodir dalam parpol.
Kemungkinan lainnya, sikap “golput” dianggap lebih efektif daripada memberikan hak suaranya untuk pasangan calon yang dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan persoalan bangsa. Sehingga pilihan politik dengan jalan ekstraparlementer bukan menjadi batu loncatan, melainkan sebagai pilihan sikap yang mencitrakan kepada masyarakat bahwa harus ada yang berani memulai untuk sebuah cita-cita perubahan. Karena momentum itu diciptakan, bukan ditunggu!

Tidak ada komentar: