My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Kamis, 11 Juni 2009

Tayangan televisi tidak mendidik

Televisi memang merupakan sarana komunikasi utama bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali dengan Indonesia . Dan harus diakui bahwa tidak ada media lain yang dapat menandingi popularitas televisi. Dan tentu saja ia cukup andil dalam membentuk sikap dan perilaku khalayak. Televisi layaknya virus yang mengkontaminasi otak manusia hingga tingkat parah dengan budaya yang diciptakannya. Terlebih karena televisi bersifat audio visual sinematografis yang memiliki dampak besar dalam pembentukan budaya masyarakat.
Program yang kemudian ditayangkan pun menjadi sangat beragam, sehingga tak ada batasan yang jelas tentang sistem nilai etika dan estetika. Bahkan cenderung mengabaikan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh komisi penyiaran indonesia (KPI). Parahnya jika hal ini terus saja dibiarkan, maka televisi dapat merusak tatanan sosial dan kebudayaan bangsa. Hal ini terlihat dari semakin ditonjolkannya eksploitasi seks, kekerasan, budaya konsumerisme, dan hedonisme.
Ekploitasi seks dan tema orang dewasa seakan menjadi trend baru yang dapat menaikkan ratting program di televisi. Bahkan berita kriminal, iklan dan film-film yang sarat dengan pornografi dan porno aksi pun seenaknya ditayangkan pada saat anak-anak menjelang berangkat atau pulang dari sekolah. Atau dengan kata lain, tidak ada pengaturan siaran yang bisa membantu anak-anak dan remaja dalam kondisi psikologinya masih labil untuk tidak tertular budaya yang bisa menjerumuskan mereka.
Aspek informasi yang seharusnya diberikan dalam tayangan televisi seperti; pendidikan, pemberdayaan, pencerahan, dan penguatan basis nasionalisme kemudian diabaikan, bahkan dianggap sebagai sajian yang “basi” untuk pemirsa. Hampir semua sinetron (terutama remaja) sangat tidak mendidik karena membuat penontonnya bermimpi yang tidak realistis. Tayangan infotainment yang sudah jelas-jelas lebih banyak mudharatnya (sehingga diharamkan oleh MUI dan NU) pun begitu digemari. Meskipun jika kita perhatikan dengan seksama, isi infotainment itu lebih banyak berghibah (gosip) dibandingkan dengan memberitakan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini harusnya menjadi perhatian yang serius dari semua pihak, baik pemerintah, maupun stasiun televisi untuk dapat menghadirkan tayangan yang berkualitas bagi pemirsa.
Media ternyata menjadi biang keladinya

Maraknya berbagai media, baik cetak maupun elektronik yang menayangkan berita-berita seputar pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan atau yang memiliki nama asli Very Idam Heniansyah di Jombang, Jawa Timur tak urung membuat kita bergidik ngeri. Bahkan juga menimbulkan tanda tanya besar dalam hati kecil; “Kenapa ya orang yang dikenal ramah, sopan, dan mempunyai latarbelakang religiusitas tinggi seperti itu bisa-bisanya melakukan aksi pembunuhan?”.

Sering terjadi

Ternyata jika ditelisik lebih jauh, kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan tersebut bukanlah yang pertama terjadi. Ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang melakukan hal itu, tentunya dengan modus yang berbeda-beda. Dan banyak faktor yang memicu gejala ini terjadi, sehingga membuat sang pelaku menjadi gelap mata.

Kondisi ekonomi bangsa yang morat-marit tak pelak menimbulkan ketegangan di tengah-tengah masyarakat. Belum lagi, kita bisa saksikan, ternyata hampir setiap hari media massa seperti; koran harian dan televisi menyuguhkan berita-berita kriminal ketimbang berita-berita yang mendidik dan membangun moralitas bangsa.

Bisa jadi karena banyaknya persoalan yang kian menghimpit dan mempreasire masyarakat itulah, para pelaku menjadi tidak bisa berfikir rasional. Sehingga pada akhirnya, pembunuhan dianggap sebagai salah satu jalan keluar paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi.

Budaya masyarakat akibat media

Televisi maupun koran harian memang merupakan sarana komunikasi utama bagi sebagian besar masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali dengan Indonesia . Dan harus diakui pula bahwa ia cukup andil dalam membentuk sikap dan perilaku khalayak. Layaknya sebuah virus, media massa seolah telah mengkontaminasi otak manusia hingga tingkat parah dengan budaya yang diciptakannya. Sehingga memiliki dampak yang luar biasa dalam pembentukan budaya masyarakat.

Menu-menu yang disuguhkan pun menjadi sangat beragam, sehingga tak ada batasan yang jelas tentang sistem nilai etika dan estetika. Dan sah-sah saja jika media massa menampilkan banyak pemberitaan yang kontroversial, karena hal tersebut yang justru akan menaikkan ratting penjualan dan meningkatkan minat beli masyarakat.

Akan tetapi yang sangat disayangkan, apabila hal itu memberikan banyak berdampak negatif bagi masyarakat daripada dampak positif yang ditimbulkan. Betapa tidak, aksi pembunuhan yang tadinya dianggap tabu untuk diperbincangkan untuk khalayak, dengan hadirnya media massa hal itu menjadi menarik dan patut disimak. Sebagaimana kasus pembunuhan yang dilakukan oleh Ryan, kejiwaan yang labil ditambah kondisi lingkungan yang menuntut banyak terhadapnya, juga pemberitaan media massa yang lebih sering menyuguhkan berita kriminal, bisa jadi turut berperan dalam mengindpirasi kasus ini terjadi.

Dan jika ini terus saja dibiarkan, maka media massa dapat merusak tatanan sosial dan kebudayaan bangsa. Hal ini terlihat dari semakin ditonjolkannya eksploitasi seks, budaya kekerasan, budaya konsumerisme, hedonisme, dan sebagainya.

*tulisan ini pernah dimuat dalam kompas, 1 agustus 2008
Golputmu, golput yang mana?



“Pemilihan umum telah menipu kita
Seluruh rakyat di paksa gembira
Hak demokrasi dikebiri, rakyat kita belum merdeka
Wakil rakyat tidak dapat dipercaya, untuk itu kita golput saja…”

Kutipan lagu “Golput” yang diplesetkan dari lagu “Pemilihan umum” kerap kali terdengar dicuping telinga kita oleh para aktivis pergerakan yang melakukan aksi demonstrasi. Mereka memberikan pernyataan, bahwa “Golput” dianggap sebagai sikap politik dalam pemilihan bupati, gubernur, wali kota, bahkan presiden. Hal ini tidaklah mengherankan, teriakan “Golput” disepanjang jalan tersebut bisa jadi sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang sudah bobrok di negeri ini.

Kondisi Indonesia yang kian terpuruk dari hari ke hari ini diakibatkan oleh adanya perselingkuhan yang dilakukan antara pemerintah dengan pemodal asing yang sengaja menelurkan sekian kebijakan negara yang anti rakyat. Kebijakan-kebijakan negara tersebut seolah hanya sebagai legitimasi untuk semakin membuat rakyat makin tenggelam dalam pemiskinan dan pembodohan.

Banyak undang-undang baru diberlakukan, seperti; UUK No.13 / 2003, Perpres No.13 / 2003, UU No.9 / 2003, dan sebagainya yang semua itu diatasnamakan “kepentingan rakyat”. Jadi sangatlah wajar, jika masyarakat menjadi tidak bergeming menghadapi pemilu. Dan ketika kursi kekuasaan sudah berada dalam genggaman, janji-janji ketika kampanye tidak pernah ada realisasi yang nyata. Bahkan artikulasi rakyat dibungkam karena dianggap melawan sistem.

Politik makin tak manusiawi

Kita bisa saksikan maraknya kampanye partai politik (parpol) yang menawarkan janji-janji surga dan kian membuat masyarakat terninabobokan. Terlebih dalam detik-detik terakhir mendekati pemilihan gubernur atau wali kota. Layaknya sebuah perlombaan, partai politik pun mulai unjuk gigi di hadapan masyarakat untuk sekedar menarik simpati. Bahkan tak segan pula, uang puluhan ribu dibagi-bagikan kepada setiap kepala agar memilih calon yang mereka usung.

Dan dengan dalih “pesta demokrasi” itu pula masyarakat kemudian diposisikan sebagai objek. Mereka dieksploitasi secara membabi-buta hanya untuk kepentingan politik. Lihat saja, hanya dalam momentum seperti itu saja mereka dipuja-puja layaknya seorang raja. Selebihnya, para politisi tersebut tidak akan mau tahu apalagi ambil pusing tentang nasib si miskin yang tidak mampu membayar sekolah anaknya, tentang si pedagang kaki lima (PKL) yang digusur dengan alasan penertiban, atau tentang nasib buruh yang di PHK secara massal.

Lapangan pekerjaan, pendidikan gratis, pengobatan murah, dan janji-janji lainnya terus saja dijejalkan di telinga masyarakat dengan harapan agar mereka berkenan memberikan hak pilihnya dengan suka rela. Namun, pasca pemilu tak ada lagi gaung yang menyerukan tentang pembelaan atas nama rakyat lagi. Aspirasi rakyat tidak lagi diindahkan, seolah mereka telah lupa dengan janji-janji yang dikoar-koarkan ketika kampanye.

“Yang kuat selalu menindas yang lemah”, begitulah yang digambarkan dalam panggung politik kita hari ini. Tak ada lagi yang benar-benar berbicara untuk kepentingan rakyat. Bahkan kalimat “atas nama kepentingan rakyat” pun mereka politisir. Barangkali itu pula yang membuat masyarakat menjadi geram, sehingga angka “Golput” dalam pemilu melonjak tajam layaknya harga bahan bakar minyak (BBM).

Golput itu pilihan

Dari tahun ke tahun pun tidak juga terlihat adanya perubahan yang signifikan. “Janji tinggallah janji”, begitu kiranya ungkapan yang tepat ketika janji-janji itu tak terealisasi hingga masa jabatan usai. Sehingga sangatlah wajar apabila banyak masyarakat yang kemudian tidak bersedia memberikan hak suaranya dalam pemilu.

Ada beberapa indikasi, mengapa mereka melakukan hal tersebut. Meskipun sebenarnya sah-sah saja jika masyarakat memilih “golput” dalam pemilu. Bisa jadi karena mereka benar-benar sudah muak terhadap kondisi bangsa yang carut marut ini, sehingga “Golput” sebagai bentuk keapatisan. Atau mereka sengaja memilih sikap “Golput” karena tidak ada kucuran dana pemilu dari para kandidat maupun parpol pengusung calon.

Lalu bagaimana dengan mereka yang memberikan stastement bahwa Golput merupakan sikap politik? Disinilah kemudian terjadi banyak penafsiran dalam menanggapi pernyataan tersebut. Sikap politik “Golput” bisa jadi karena partai yang mengusungnya tidak lulus verifikasi atau ada kepentingan pribadi maupun golongannya yang tidak terakomodir dalam parpol.

Kemungkinan lainnya, sikap “golput” dianggap lebih efektif daripada memberikan hak suaranya untuk pasangan calon yang dianggap tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan persoalan bangsa. Sehingga pilihan politik dengan jalan ekstraparlementer bukan menjadi batu loncatan, melainkan sebagai pilihan sikap yang mencitrakan kepada masyarakat bahwa harus ada yang berani memulai untuk sebuah cita-cita perubahan. Karena momentum itu diciptakan, bukan ditunggu!

Rabu, 25 Maret 2009

Dialektika Tuhan

orang bilang, Tuhan begitu dekat dengan hambanya
ia juga tidak buta dan tidak tuli
tapi kenapa aku harus berteriak pada-Nya dengan pengeras suara?

orang bilang, Tuhan sangatlah adil
ia tak pernah memberi cobaan melebihi kemampuan hambanya
tapi kenapa aku harus mengiba dan meminta belaskasih-Nya agar bebar dipundak ini tidak terlalu berat?

Tuhan dan kata orang,
keduanya terlalu absurd
tak terbaca dan tak terlihat oleh mataku

Gelisah

sejenak,
kurasakan ada sesuatu yang mendadak hilang dan melenyap dari hidupku.
sesuatu yang baru kusadari bahwa ia begitu berarti
terlalu berarti sehingga kenangan tentangnya begitu mendalam!
dan kini aku sedang merindunya
dalam sepenggal nafasku, sejumput sisa asaku.