My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 09 November 2008

CerpeN


Kencan Pertama
Cerpen Mayshiza Widya Uyex
"Selamat malam, Ene! Gaunmu indah, kau tampak anggun", puji Gray di pesta dansa malam itu. Kami baru kenal lima menit yang lalu. Aku tersanjung, tersipu, wajahku sedikit memerah. Gray mengulurkan tangannya, dan aku menyambutnya dengan bangga. Digapitnya tanganku yang dingin di atas pundaknya, dan kedua tangan Gray melingkar di pinggangku. Kami bergoyang mengikuti alunan musik, ke kanan dan ke kiri. Dadanya yang lapang menyentuh lembut dadaku. Kurasakan detak jantungnya berhitung. Satu-satu. Bahkan aroma nafasnya menyerengak di hidungku.
"Ene, setelah pesta dansa ini. Maukah kamu berkencan denganku?", bisik Gray pelan, cukup terdengar. Aku tersentak, darahku berpacu, mengalir kian derasnya, syaraf-syaraf di otakku mulai tegang. Mulutku tetap diam terkatup, meski Gray mengulangi kalimat itu dua kali. Dia makin erat memelukku, nafasku terengah, namun entah… seolah aku menikmatinya, dan kubiarkan tangannya meraup seluruh tubuhku. Ia mulai berani menggigit leherku dengan mesra, aku menggeliat, merintih, dan Gray malah tertawa.
Menit berikutnya, ia menarik lenganku keluar dari pesta dansa menuju sebuah ruangan kecil. Padahal pesta dansa belum usai. Kulihat gairah membara dalam diri Gray, di ruang pengap yang tertutup itu aku terpojok. Mata Gray menyala, menimbulkan kobar dan membakar seluruh jiwaku. Jari-jari lentiknya meraba pahaku, dan menyibak rok miniku. Bibirnya menyentuh bibirku lembut. Ia semakin berani menunjukkan kejantanannya dengan membuka sedikit kancing bajuku, dan kami pun ...
Aku makin tak kuasa dibuatnya, imajinasiku terbang melambung, kami seolah menjadi satu. Aku adalah Gray, Gray adalah aku. Kami berdua melayang tuk menggapai kepuasan dunia yang fana. Sekalipun ini adalah kencan pertamaku, dan meski sesaat kami cukup menikmatinya. Kemudian segera kurapikan dandananku dan kembali ke ruang dansa. Gray mengikutiku dari belakang, seolah tak terjadi apapun. Aku berbincang dengan Elis dan Prita di ujung bartender. Mereka menuangkan segelas wine, dan aku meneguknya. Kulirik Gray, di ujung meja yang lain bersama Freud. Ia tertawa lepas, kepuasan jelas terpancar dari rona wajahnya.
***
Sejak malam itu, aku tak lagi bertemu muka dengan Gray. Malam yang menegangkan dan mengharu biru itu tak akan terulang. Kini aku tengah duduk di altar sebuah paviliun, lengkap dengan rumput dan bunga kamboja. Menyaksikan guratan demi guratan yang diukir oleh hujan yang tak begitu deras membasah.
Aku hanya bisa menikmati kehancuran ini, aku seakan terbang di atas awan, tak tahu ke mana harus melangkah dan tak berani menyeberang ke kanan atau ke kiri. Atau bagai seorang peziarah yang lelah, yang bereforia mendapatkan sekantung air zam-zam. Ahhh… tidak, aku terlalu hina untuk diibaratkan demikian. Hidupku hancur sejak Gray dengan brutalnya menggerayangiku. Kehidupan keluargaku berantakan, menjadi anak tunggal dari keluarga yang broken adalah mimpi buruk, aku ingin segera terbangun dan terjaga dari tidurku, tapi terlambat. Aku pun di D.O dari Universitas karena tak pernah masuk kuliah. Masa depanku kini suram. Sementara itu, virginitasku tergadai untuk sebuah kepuasan busuk. Sesal pun terasa percuma. Jika sudah demikian, apa yang mampu kulakukan?
Tuhan… yach, nama itu jarang sekali kusebut, bahkan hampir tidak pernah. Tapi apakah Dia mau mengampuniku? Kurasa Dia pun telah muak melihat ulahku. Biar saja kunikmati kehancuran ini. Aku sudah telanjur rusak, jadi mau apa lagi?
"Ene, apa yang kau lamunkan?", tanya Mike, teman kencanku yang baru, dua bulan terakhir. Aku menggeleng, mencoba menawarkan seulas senyum yang sedikit kupaksakan. Kumatikan puntung rokokku. Kulihat ia mengambilkanku sepotong biskuit dan segelas orange juice. Aku meraihnya, meneguk orange juice buatannya, membiarkan kerongkonganku basah untuk sesaat. Tiba-tiba perutku malah mual, mendadak ingin muntah, tapi kutahan.
"Jika kau mau, orangtuaku akan datang minggu depan untuk melamar!", ujarnya memecah hening. Aku masih terlalu muda untuk sebuah ikatan perkawinan. Tapi aku tak akan mengelak jika ia menghendaki demikian. Lagi pula, aku tak akan begitu ambil pusing dengan hidup berumah tangga dengan Mike. Dia yang akan mengatur segalanya. Dan aku? Hanya tinggal duduk, bersantai, menunggu laporan selayaknya bos.
Sejenak wajah Gray muncul di hadapku, tawanya… gairah seksualnya… aroma tubuhnya… sulit terlupa dari benak dan fikiranku. Aku kesepian. Terluka. Sejak awal pun aku tahu bahwa hubungan kami adalah sebuah kesalahan. Ia seorang suami dan ayah dari seorang anak laki-laki bernama Yugas. Aku juga telah prediksikan, jika akhirnya akan seperti ini. Tapi aku masih beruntung, mungkin karena aku masih memiliki Mike yang mau menerimaku apa adanya. Yang mencintaiku tanpa cacat. Kurasa, aku harus belajar melupakan Gray dan sesedikit mungkin mencintai Mike. Kasihan ia…
"Ene, kau baik-baik saja?", Mike sedikit menghawatirkanku. Ia memang seorang lelaki yang penuh kebapakan, bijaksana, dan pengayom. Wajar saja, karena usia kami terpaut 10 tahun. Mike memang tipikal suami yang ideal, betapa pun demikian gairah seksualku menurun semenjak berhubungan dengannya. Kami lebih banyak bicara dibandingkan bermain cinta. Aku tersenyum kecut dan kembali kuteguk minuman di tanganku.
***
Aku akan menikah, Mike keberatan jika kami harus bertunangan terlebih dahulu. Ia merasa sudah terlalu tua untuk menunggu. Undangan sudah di sebar, gaun pengantin, kue pengantin, gedung resepsi, cincin berlian, hidangan pesta, semua telah dipesan. Bahkan tak terkecuali dengan honeymoon ke Eropa. Semua sengaja dipilih sesuai seleraku.
Aku bertekad untuk memulai kehidupanku yang baru. Untuk kembali menjadi wanita normal seperti yang lain. Melupakan harapan bodoh untuk merebut suami orang. Oleh Mike, aku diajari bagaimana harus sholat dan mengaji. Dan hari ini, kami menikah. Kukenakan gaun pengantinku dan mengikrarkan akad nikah dengan Mike. Hampir tak kupercaya, mulai detik ini aku telah dinobatkan menjadi seorang istri.
Pesta pernikahan kami begitu meriah. Kawan dan kerabat dekat juga tampak hadir. Elis dan Prita, sahabat karibku turut membantu kami menjamu tamu undangan. Sesaat kudapati seraut wajah yang tak asing, wajah yang telah sekian lama terkubur bersama kenangan, wajah yang sempat mengayuh rindu yang mengakar. Kini ia ada dihadapku, mata itu… masih menyorot tajam, setajam belati yang siap setiap waktu mengulitiku. Aku masih diam, tak bergerak, menatapnya lekat, ternyata tak banyak yang berubah, ia masih seperti yang dulu, masih sama seperti Gray yang telah mencumbuku malam itu, ia tetap tampan, aku tak berhenti menatapnya, tak berkedip.
"Ene, congratulation!", ucapnya, hendak menjabat tanganku. Aku hampir tak mempercayai penglihatanku, namun aku berusaha untuk tetap bersikap senatural mungkin. Meski sedikit kaku, kucoba kulum seulas senyum. Biarlah kenangan tetap menjadi kenangan, manis atau pun getir. Karena kita tidak pernah tahu, apa yang akan kita dapat di hari esok.

Orasi Budaya


Membangun peradaban baru Indonesia
Oleh : Mayshiza Widya Uyex*
Dengan menindaklanjuti perjalanan panjang sejarah masyarakat nusantara, maka yang ada pada kita adalah sebuah pertanyaan besar akan penemuan awalan dan akhiran abad. Dalam bentuk apa dan periode kebudayaan yang bagaimana, masyarakat dan bangsa Indonesia dapat menegaskan sikap atas perkara budaya yang melingkupinya? (Manifesto Pemuda)
Khalayak kebudayaan pernah mengalami pesta pora menjadi manusia berbudaya yang sesungguhnya, pun pernah melanggar tata pengertian kebudayaan dengan menjadikannya sebagai ritus pemberhalaan sejarah. Persepsi manusia tentang budaya ternyata mengalami sekian pergeseran, dari manusia dalam periode sosial yang menemukan anti klimaks revolusi kebudayaan menjadi manusia yang logika berfikirnya ekonomistik sehingga menjadikan budaya sebagai alat eksploitasi untuk berkuasa. Inilah yang menjadi penyebab runtuhnya tatanan kebudayaan di Indonesia.
Dan menjadi menggelitik ketika ada beberapa pertanyaan terlontar dengan tiba-tiba. Seperti, apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur yang selalu mengganggu dengan menggeliatkan hasrat untuk menjadi manusia berbudaya? serta kenapa kita tak memutar haluan kesadaran untuk mengolah kehendak (baca: daya, cipta dan karsa) atas kekuasaan menjadi kehendah memperoleh pencerahan dalam pencapaian revolusi budaya? Tampaknya kita perlu merefleksikan kembali tentang hakikat budaya itu sendiri. Juga tentang kebutuhan manusia akan kebudayaan yang kian mengukuhkan hakikat kemahlukannya.

Dominasi budaya kekuasaan
Budaya merupakan kristalisasi nilai dan pola yang dianut manusia dalam sebuah komunitas, yang dalam hal ini kita coba kontekskan dalam sebuah sistem negara bernama: "Indonesia". Negara yang hiterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, serta tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia dalam skala nasional. Akan tetapi pola hubungan masyarakat yang sudah carut marut oleh sistem kebudayaan itu terhianati segelintir orang yang berkuasa dan menghancurkan karakter serta jati diri bangsa. Bahkan nilai yang tumbuh dalam masyarakat melalui proses dialektika sosial yang melahirkan tatanan serta sistem kebudayaan pun harus dirusak oleh proses eksploitasi budaya yang mengelabuhi pandangan kritis masyarakat terhadap realitas sosial.
Dan menjadi sangat dilematis ketika bangsa hanya mampu mengantarkan masyarakatnya untuk bereforia dalam gerakan kebudayaan yang pragmatis. Yang memanfaatkan akulturasi dan transisi budaya dalam industri secara membabi-buta. Sedang lembaga pendidikan ternyata tidak mampu memberikan gambaran yang baik tentang kebudayaan Indonesia. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan pada muridnya untuk memuji-muji budaya yang luhur, padahal budaya Indonesia sangat miskin dan compang-camping. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Tour, bahwa Indonesia adalah bangsa yang brengsek. Kekayaan yang dimiliki tidak membuat kita kuat tetapi justru menjadikan kita dijajah. Bahkan sejak dulu, kita mempunyai pandangan sosial seperti sebuah piramida. Lapisan bawah harus membiayai lapisan atasnya. Lapisan itu harus membiayai lapisan atasnya lagi. Kemudian lapisan ini juga harus membiayai lapisan atasnya lagi sampai ke puncaknya. Elite politik tidak bekerja apa-apa. Yang ada sepanjang sejarah adalah kekuasaan yang kemudian distratifikasikan menjadi dua yakni; berkuasa dan dikuasai.

Menjadi masyarakat berbudaya
"Kita tidak pernah menilai dan mengoreksi budaya kita sampai sekarang. Jadi kita perlu berani melihat kekurangan kita. Jangan hanya memuji-muji saja. Memang banyak pujian Barat pada pariwisata Indonesia. Tapi lebih baik belajar melihat kekurangan sendiri untuk memperbaiki," demikian kiranya Pramoedya melakukan kritik terhadap pola fikir yang menghegemoni masyarakat. Ia mencoba mempertautkan jaring-jaring kesadaran untuk membangun peradaban baru manusia, tentunya tanpa menghilangkan karakter kebangsaan ini.
Jika kesadaran akan diversitas budaya telah terbangun, maka pengupayaan kebangkitan bangsa akan kebijakan dan kebijaksanaan yang bersumber pada budaya akan menciptakan dinamika yang kondusif untuk membentuk masyarakat yang berbudaya. sehingga tak ada lagi alasan untuk melakukan klaim-klaim terhadap hasil budaya Indonesia, seperti: batik dari jawa yang diakui oleh Adidas, tari reog ponorogo dari jawa timur yang diakui oleh pemerintah malaysia, pigura dengan ornamen ukir khas jepara dari jawa tengah yang diakui oleh warga negara Inggris, kopi toraja dari sulawesi selatan diakui oleh perusahaan jepang, dan seterusnya. Karena peradaban akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang beradab. Untuk menggali kembali nilai yang telah lama tumbuh tapi dirusak. Sehingga cita-cita menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mempunyai karakter kebudayaan yang kuat bukanlah sebuah uforia.[]

* Penulis adalah Direktur Kajian LPM Paradigma

Mimbar Sastra


Salam pagi

Sapa pagiku kali ini untuk nasi
Yang tak pernah putus asa menyambung nyawa kita
Meski harga beras kian melambung tinggi
Sedang taraf hidup petani tak juga meningkat

Do'aku untuk jalanan yang dibangun atas keringat rakyat
Tapi dengan balutan utang luar negeri
Yang tak bosan mencekik mereka
Dalam pemiskinan-pembodohan

Senyumku untuk darah
Yang mengalir di setiap inci dan lekuk tubuh kita
Hingga masih bertahan dalam gempuran masa
Yang makin tak manusiawi

Maka,
Sampaikan salamku untuk nasi
Yang setiap butirnya berisi perjuangan
Sampaikan salamku untuk jalanan
Yang melahirkan pergerakan
Sampaikan salamku untuk darah yang memerah
Mengukuhkan kita dalam perlawanan
Demi pembebasan.

Dipersimpangan masa, 06092008
Mayshiza Widya Uyex

Do'a (dalam) kalut

Tuhan…
Beri aku satu janji
Satu saja, cukuplah.
"Kembalikan dia kepadaku!"

Mungkin terlalu sering, aku memintanya
Tapi, kumohon…
Hanya untuk kali ini
"Terima kasih!"

Menjelang natal, 2006
Widya Robin