My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 09 November 2008

Orasi Budaya


Membangun peradaban baru Indonesia
Oleh : Mayshiza Widya Uyex*
Dengan menindaklanjuti perjalanan panjang sejarah masyarakat nusantara, maka yang ada pada kita adalah sebuah pertanyaan besar akan penemuan awalan dan akhiran abad. Dalam bentuk apa dan periode kebudayaan yang bagaimana, masyarakat dan bangsa Indonesia dapat menegaskan sikap atas perkara budaya yang melingkupinya? (Manifesto Pemuda)
Khalayak kebudayaan pernah mengalami pesta pora menjadi manusia berbudaya yang sesungguhnya, pun pernah melanggar tata pengertian kebudayaan dengan menjadikannya sebagai ritus pemberhalaan sejarah. Persepsi manusia tentang budaya ternyata mengalami sekian pergeseran, dari manusia dalam periode sosial yang menemukan anti klimaks revolusi kebudayaan menjadi manusia yang logika berfikirnya ekonomistik sehingga menjadikan budaya sebagai alat eksploitasi untuk berkuasa. Inilah yang menjadi penyebab runtuhnya tatanan kebudayaan di Indonesia.
Dan menjadi menggelitik ketika ada beberapa pertanyaan terlontar dengan tiba-tiba. Seperti, apa yang sedang kita rindukan sebenarnya? Adakah mimpi kita terlalu besar dan panjang untuk jam tidur yang selalu mengganggu dengan menggeliatkan hasrat untuk menjadi manusia berbudaya? serta kenapa kita tak memutar haluan kesadaran untuk mengolah kehendak (baca: daya, cipta dan karsa) atas kekuasaan menjadi kehendah memperoleh pencerahan dalam pencapaian revolusi budaya? Tampaknya kita perlu merefleksikan kembali tentang hakikat budaya itu sendiri. Juga tentang kebutuhan manusia akan kebudayaan yang kian mengukuhkan hakikat kemahlukannya.

Dominasi budaya kekuasaan
Budaya merupakan kristalisasi nilai dan pola yang dianut manusia dalam sebuah komunitas, yang dalam hal ini kita coba kontekskan dalam sebuah sistem negara bernama: "Indonesia". Negara yang hiterogen, multi etnik, memiliki lebih dari 700 bahasa, serta tidak mudah untuk mencari serpih-serpih budaya yang mewakili Indonesia dalam skala nasional. Akan tetapi pola hubungan masyarakat yang sudah carut marut oleh sistem kebudayaan itu terhianati segelintir orang yang berkuasa dan menghancurkan karakter serta jati diri bangsa. Bahkan nilai yang tumbuh dalam masyarakat melalui proses dialektika sosial yang melahirkan tatanan serta sistem kebudayaan pun harus dirusak oleh proses eksploitasi budaya yang mengelabuhi pandangan kritis masyarakat terhadap realitas sosial.
Dan menjadi sangat dilematis ketika bangsa hanya mampu mengantarkan masyarakatnya untuk bereforia dalam gerakan kebudayaan yang pragmatis. Yang memanfaatkan akulturasi dan transisi budaya dalam industri secara membabi-buta. Sedang lembaga pendidikan ternyata tidak mampu memberikan gambaran yang baik tentang kebudayaan Indonesia. Sekolah-sekolah hanya mengajarkan pada muridnya untuk memuji-muji budaya yang luhur, padahal budaya Indonesia sangat miskin dan compang-camping. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pramoedya Ananta Tour, bahwa Indonesia adalah bangsa yang brengsek. Kekayaan yang dimiliki tidak membuat kita kuat tetapi justru menjadikan kita dijajah. Bahkan sejak dulu, kita mempunyai pandangan sosial seperti sebuah piramida. Lapisan bawah harus membiayai lapisan atasnya. Lapisan itu harus membiayai lapisan atasnya lagi. Kemudian lapisan ini juga harus membiayai lapisan atasnya lagi sampai ke puncaknya. Elite politik tidak bekerja apa-apa. Yang ada sepanjang sejarah adalah kekuasaan yang kemudian distratifikasikan menjadi dua yakni; berkuasa dan dikuasai.

Menjadi masyarakat berbudaya
"Kita tidak pernah menilai dan mengoreksi budaya kita sampai sekarang. Jadi kita perlu berani melihat kekurangan kita. Jangan hanya memuji-muji saja. Memang banyak pujian Barat pada pariwisata Indonesia. Tapi lebih baik belajar melihat kekurangan sendiri untuk memperbaiki," demikian kiranya Pramoedya melakukan kritik terhadap pola fikir yang menghegemoni masyarakat. Ia mencoba mempertautkan jaring-jaring kesadaran untuk membangun peradaban baru manusia, tentunya tanpa menghilangkan karakter kebangsaan ini.
Jika kesadaran akan diversitas budaya telah terbangun, maka pengupayaan kebangkitan bangsa akan kebijakan dan kebijaksanaan yang bersumber pada budaya akan menciptakan dinamika yang kondusif untuk membentuk masyarakat yang berbudaya. sehingga tak ada lagi alasan untuk melakukan klaim-klaim terhadap hasil budaya Indonesia, seperti: batik dari jawa yang diakui oleh Adidas, tari reog ponorogo dari jawa timur yang diakui oleh pemerintah malaysia, pigura dengan ornamen ukir khas jepara dari jawa tengah yang diakui oleh warga negara Inggris, kopi toraja dari sulawesi selatan diakui oleh perusahaan jepang, dan seterusnya. Karena peradaban akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang beradab. Untuk menggali kembali nilai yang telah lama tumbuh tapi dirusak. Sehingga cita-cita menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dan mempunyai karakter kebudayaan yang kuat bukanlah sebuah uforia.[]

* Penulis adalah Direktur Kajian LPM Paradigma

Tidak ada komentar: