My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 06 Juli 2008

Buruh seluruh dunia, bersatulah!!!



Indonesia; negara kuli?
Mayshiza Widya Uyex
“Setiap orang berhak memperoleh penghasilan untuk memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, demikian bunyi pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Perburuhan tentang pengupahan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa upah buruh memang menyisakan banyak persoalan, baik dari pihak buruh sendiri maupun pihak pengusaha. Bagi pengusaha, upah dipandang sebagai beban. Karena semakin besar upah yang dibayarkan kepada buruh, maka semakin kecil proporsi keuntungan pengusaha. Misalnya saja; uang tunai (gaji), tunjangan beras, pengangkutan, kesehatan, konsumsi pada saat menjalankan tugas, pembayaran upah waktu libur, cuti, dan sakit, jaminan sosial tenaga kerja (jamsostek), dan lain-lain.
Sementara itu, kemampuan menejemen perusahaan juga turut mempengaruhi sistem pengupahan. Keborosan dana, waktu yang terbuang percuma sehingga buruh tidak bekerja secara efektif, dan biaya produksi yang mahal memunculkan problem baru. Belum lagi, tidak seragamnya upah yang diberikan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lain menimbulkan permasalahan dalam merumuskan kebijakan nasional, sehingga hal ini berpengaruh terhadap penentuan pajak pendapatan, upah minimum, upah lembur, dan seterusnya.
Bagi buruh, upah menjadi sangat penting nilainya karena itu adalah satu-satunya alat yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka secara wajar. Sedang kewajaran tersebut diukur dari kebutuhan hidup minimum atau yang sering disebut dengan kebutuhan fisik minimum (KFM). Upah yang hanya “pas-pasan” dan penetapan upah minimum regional (UMR) yang tidak cukup menggembirakan semakin memperparah kondisi buruh dalam posisinya yang didesain untuk “hidup serba sederhana”, ditambah peluang mobilitas vertikal yang sempit dan desakan hidup yang meningkat menjadikan psikologi resistensi buruh melemah.
Buruh juga terbentur pada kebutuhan fisik yang tidak hanya berupa sandang, pangan, dan papan saja. UMR yang jauh dari kebutuhan hidup layak (KHL) membuat mereka harus membanting tulang untuk menyambung hidup. Begitu cepatnya laju pertumbuhan ekonomi membuat kaum buruh rela menjadi tenaga kerja murah dengan perpanjangan jam kerja.
Disisi lain, pemerintah tidak mampu mengambil perannya. Bahkan turut andil dalam proses eksploitasi terhadap buruh yang kemudian melanggengkan kemiskinan. Perubahan UMR setiap tahun juga tidak memberi kepuasan kepada buruh, justru mereka terus saja “dikerjai” dengan kebijakan negara yang anti-rakyat. Melambungnya harga kebutuhan pokok, kelangkaan minyak tanah yang kemudian menghasilkan kebijakan konversi kompor gas yang kerap kali meledak dan menimbulkan kebakaran, penggusuran tanah, maraknya PHK massal, dan juga rencana pembatasan pembelian BBM yang bersubdisi makin memperpuruk kondisi rakyat kecil, seperti buruh.
Perusahaan-perusahaan juga tak henti-hentinya menekan pemerintah dengan jargon “investor henkang”, “industri akan tutup”, dan beralih serta untuk membatalkan investasinya jika UMR dinaikkan. Dengan kata lain, meskipun sejumlah undang-undang telah disahkan oleh pemerintah berkenaan dengan kasus buruh, seperti Undang-Undang Bab X tentang perlindungan, pengupahan, dan kesejahteraan; Undang-Undang pasal 136 tentang perselisihan hubungan industrial, Undang-Undang No.21 tahun 1954 tentang perjanjian perburuhan antar serikat buruh dan majikan. Akan tetapi tidak ada realisasi terhadap praktik Undang-Undang tersebut.
Eksploitasi terhadap kaum buruh seakan dianggap sebagai satu-satunya jalan dalam pembangunan ekonomi negara. Peraturan-peraturan yang dihasilkan oleh pemerintah hari ini ternyata tidak berhasil menghapuskan pemiskinan dan penindasan terhadap kaum buruh. Bahkan pemerintah seakan dengan cukup efektif menggelapkan fakta bahwa perusahaan dan buruh tidak mempunyai tujuan yang sama sebagaimana yang dibicarakan tentang etika dan kemitraan. Kedua belah pihak masih juga terpasung dsalam sebuah perjuangan kelas yang klasik, sehingga “pengusaha adalah mitra buruh” dan “buruh adalah mitra pengusaha” tak lebih hanya retorika kosong.
Hari buruh internasional yang jatuh pada tanggal 1 mei itu pun tak lebih hanya sekedar momentum belaka. Kampanye yang membuat masyarakat lebih “melek” mengenai persoalan buruh juga sudah dilakukan, tetapi seolah Tidak ada solusi yang signifikan untuk menjawab kompleksitas masalah perburuhan. Dan Indonesia akan tetap menjadi “negara kuli” selama persoalan buruh ini tidak juga diselesaikan.

Tanahku bermandikan darah, dikuras habis dan lelah



Land Reform atau Penghianatan Rakyat?
Oleh: Mayshiza Widya Uyex

“Hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bgi masyarakat”, (Penjelasan II, 4 UUPA)
Sengketa agraria nampaknya abadi di negeri ini, dan memang benar-benar njlimet. Sejak zaman kolonial, sampai tahun-tahun awal republik, masalah ini tidak pernah tuntas, bahkan semakin menyudutkan posisi rakyat kecil sebagai pihak yang paling dirugikan. Masalah pun menjadi parah manakala rezim pembangunan ekonomi (baca: orde baru) yang serba terpusat menjadi tergantung pada penanaman modal asing.
Lahirnya berbagai produk hukum resmi yang lebih mendukung para pemodal dan pemerintahan menjadi alat legitimasi untuk melakukan penguasaan atas tanah rakyat dengan dalih “kepentingan umum”, “demi pembangunan nasional”, dan sebagainya. Kasus sengketa tanah pun mulai marak dimana-mana dan masih terus berlangsung sampai sekarang.
Pembangunan dan Penghianatan
Pembangunan memang selalu menjadi topik hangat yang kerapkali diperbincangkan diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebut saja pembangunan real estate kenamaan yang gila-gilaan memberi tawaran fasilitas menggiurkan, seperti; Cibubur Country, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading Square, dan masih banyak lagi. Padahal bersamaan itu pula banyak terjadi kasus-kasus penggusuran diberbagai daerah, mulai dari lapak pedagang kaki lima, pasar tradisional, sampai pemukiman penduduk.
Pembangunan yang disebut-sebut itu memang merupakan bagian dari proses multidimensi, dimana hal tersebut mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, yang tentunya bukan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Tak ayal, hal ini membutuhkan adanya infrastruktur, termasuk didalamnya pengadaan lahan. Sementara itu, permasalahan yang terkait dengan pembebasan lahan privat untuk kepentingan publik senantiasa menimbulkan polemik. Bahkan sedemikian kompleksnya, sehingga tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan-peraturan yang sudah ada.
Sekian lama pula sejarah kebangsaan telah dibisukan dengan propaganda-propaganda kosong dan manipulasi kesadaran massa. Kebebasan untuk bertindak justru membawa rakyat kecil pada intimidasi dan kekerasan, sekaligus konfrontasi dengan hukum. Ada ratusan bahkan ribuan kasus sengketa tanah yang tak terselesaikan dan tak jarang berakhir dengan penggusuran juga perampasan lahan. Sungguh sangat ironis karena ternyata hal ini berlangsung di negara yang sudah merdeka selama 63 tahun.
Dewasa ini sering kita saksikan pula bagaimana para aparat pemerintahan dengan ringan tangan melakukan preasure terhadap rakyat kecil untuk meninggalkan lahan yang selama bertahun-tahun mereka tempati. Global warming menjadi salah satu isu sentral terhangat yang digulirkan kepermukaan untuk melegitimasi perampasan tanah rakyat. “Pengadaan lahan hijau” merupakan jurus paling jitu untuk semakin menenggelamkan rakyat kecil dalam keterpurukan. Belum lagi ganti rugi yang diberikan tidaklah sebanding, bahkan mungkin tidak cukup masuk akal.
Diam Tertindas atau Bertindak Melawan?
Tanah memang merupakan arti penting dalam kehidupan manusia. Karena hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung dan bersumber pada tanah, baik itu sebagai lahan pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan dan sebagainya. Ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Meskipun sudah ditetapkan kebijakan pertanahan oleh pemerintah, namun tak dapat dipungkiri bahwa kebijaksanaan tersebut tidak terlepas dari adanya pengaruh prioritas-prioritas berbagai kepentingan. Seperti kelompok bisnis dan industri yang paling banyak mempunyai akses pada proses perumusan kebijaksanaan negara. Maka kebijaksanaan alokasi tanah cenderung berpihak pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tentunya dengan mengesampingkan kepentingan dan hak-hak rakyat miskin. Inilah yang kemudian melatarbelakangi berbagai unjuk rasa dan menuai aksi protes dalam kasus –kasus tanah.
Gemuruh keberanian pada jantung kejidupan rakyat kecil untuk melakukan aksi demonstrasi dijalan-jalan dengan bendera nasional dipandang sebagai bentuk pemberontakan atas penghinaan nasional, kesengsaraan ekonomi, dan kekecewaan terhadap demokrasi. Bisa jadi hal ini diilhami oleh keberanian rakyat kecil untuk ikut serta dalam perjuangan mencapai kemerdekaan hak dan keadilan sosial. Sebagaimana slogan yang diteriakkan oleh Ernesto “Che” Guevara dengan Land Reform-nya. Slogan yang kemudian menggerakkan massa rakyat yang tertindas untuk maju dan merebut kembali tanah yang seharusnya menjadi milik mereka.
Demikian pula yang dikemukakan Adolf Hitler; “Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang menginspirasikan massa mengangkat senjata”. Sehingga jelaslah sudah bahwa hanya ditangan orang-orang yang bernyali saja perjuangan menuju perubahan yang revolusioner akan terjadi. Tentunya bukan tanpa posisi tawar. Maka sudah saatnya seluruh tenaga dan fikiran kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi, dan perjuangan segera dan seutuhnya menjadi milik sadar massa.[]

*Penulis adalah Ketua Kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Kudus.

Panggung Kreasi




Bunting
Mayshiza Widya Uyex

Ibu pernah bercerita tentang tetangga Bulek di kota yang bunting duluan sebelum menikah. Eh, hamil. Saat itu aku tak memberi komentar apa-apa, hanya tertawa sengit. Karena ekspresi itu bisa bermakna ganda. Kemungkinan pertama, aku dianggap menertawakan kebodohan mereka yang kecolongan. Kok bisa sih sidah banyak beredar “pengaman”, tapi tetep bocor juga.
Kemungkinan yang kedua, aku turut bahagia atas keberhasilan mereka memproduksi anak. He…he…he…
“Hei, kok bengong?”.
“Nggak, aku hanya ingat ibu”.
“Emang ada apa?”.
“Aku sedang gelisah, mas. Sudah beberapa hari ini aku telat”.
“Telat ke kantor? Tapi nggak sampai dipecat sama bosmu’kan?”.
“Bukan telat yang itu, tapi telat menstruasi!”.
“Apa? Kok bisa?”.
“Kok bisa katamu? Harusnya aku yang bertanya”.
“Aku belum mau punya anak!”.
“Kau pikir aku mau? Aku belum menikah, mana mungkin aku mau punya anak?”.
“Kalau kamu bunting beneran, kita gugurkan saja”.
“Apa? Itu namanya kamu nggak bertanggungjawab”.
“Pertanggungjawaban yang bagaimana yang kamu minta? Mengawinimu? Itu gila!”.
“kenapa gila? Bukankah sewajarnya kalau kamu mengawiniku. Aku bunting juga karenamu, mas!”.
“Karenaku?”.
“Ya, itu ulahmu!”.
“Ulahmu juga’kan?”.
“Aku nggak mau membunuh anak ini”
“Tidak ada pilihan lain”.
“Tapi aku tak pernah bunuh orang, apalagi dia anakku, darah dagingmu, buah cinta kita!”.
“Cinta? Bulshiit… kalau kamu mencintaiku, kita gugurkan sebelum dia tumbuh besar dalam rahimmu!”.
***
“Bagaimana kesehatanmu, sudah baikan?”.
“Lebih buruk dari sebelum membunuh anakku!”.
“Dia belum berbentuk janin, baru segumpal darah dan belum bernyawa. Jadi tidak bisa disebut membunuh orang”.
“Kamu memang brengsek, mas. Bapak mana yang tega membunuh anaknya sendiri?”.
“Sudahlah, dia memang diciptakan untuk tidak dilahirkan didunia ini”.
“Begitu menurutmu?”.
“Ya. Main lagi yuk… aku kangen goyanganmu!”.
“Kamu gila?”.
“Ya, aku tergila-gila padamu”.
Setelah itu aku melakukan juga apa yang diinginkan pacarku. Kemudian menjadi sering melakukannya selayaknya rutinitas harian. Ternyata berhasil. Yeah, aku bunting untuk kedua kalinya. Lagi-lagi pacarku ingin menggugurkannya. Sementara aku bersikeras untuk melahirkannya.
Kami bertengkar hebat. Saling maki, tampar, tendang, bahkan saling cekik. Aku berteriak histeris ketika melihat pacarku tak bernyawa lagi. Dulu aku membunuh bayi dalam rahimku, sekarang aku membunuh bapak dari bayi yang kini kukandung. Kemudian tubuhku lunglai dan tak ingat lagi apa yang terjadi setelah itu.
***
“bagaimana kondisinya, dok?”.
“Dia hamil, bu. Kandungannya lemah. Tapi yang lebih mengkhawatirkan, putri anda gila!”.
Mendengar itu, ibu pun terkejut dan pingsan.

* Penulis adalah penikmat sastra, dan sekarang sedang menyelesaikan penulisan novelnya yang berjudul; “Retorika Cinta”.

Wajah Puisi


Mayshiza Widya Uyex

Narasi laki-laki penggoda

Sungguh; aku tak pernah mengundangnya untuk bertandang ke bilik jantungku
Dia telah lancang memasukinya dengan cara paksa
Menjejaliku dengan menu-menu cintanya
Yang membuat perutku mual dan ingin muntah
Karena hidangan yang di saji tidak cocok dilidahku. Barang kali.

Ingin kulempar dia keluar
Ia dengan kurang ajar melumat bibirku dengan bibirnya
Bahkan berani menjulurkan lidahnya memasuki relung hatiku
Menyusuri ruang pengap, yang tandus dan gersang
Ia makin beringas dengan menjejakkan bayangnya
Ke setiap sendi dan lekuk tubuhku
Membangkitkan naluli purbakalaku

Dan kata-kata mulai tenggelam
Larut dalam gairah
Jepara, 18 november 2006

Sajak (tentang) waktu

Beri aku sedikit waktu
Hanya untuk menata kembali hatiku!
Akhir november, 2006

Do'a (dalam) takut

Selamatkan aku!
Akhir tahun, 2006

NEKOLIM


EKONOMI INDONESIA DALAM PENGARUH GLOBALISASI
Mayshiza Widya Uyex

Ya! Ada yang jaya
Ada yang terhina
Ada yang bersenjata
Ada yang terluka
Ada yang duduk
Ada yang diduduki
Ada yang berlimpah
Ada yang terkuras
Dan disini kita bertanya
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Penggalan sajak yang ditulis oleh Rendra diatas seakan mengingatkan kita tentang kontradiksi sosial yang tak pelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam sebuah kekuasaan memang selalu saja ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Ada kaum borjuasi dan ada kaum proletariat. Dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global, apalagi perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka dalam kancah ekonomi global, mulai dari perdagangan, arus modal masuk dan keluar (capital inflow and outflow), juga kegiatan pemerintah melalui penarikan dan pembayaran hutang luar negeri. Terlebih ketika ada sekian banyaknya modal yang bercucuran kesana kemari dengan leluasa di negara berkembang, seperti Indonesia.
Komputer, perangkat lunak, dan internet menjadi jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang sudah “kadaluarsa”. Ini menunjukkan bahwa industri manufaktur sedang berpindah ke negara dunia ketiga, dan “keajaiban ekonomi” yang sering diteriakkan itu terbukti hanya sekedar retorika kosong belaka.
Sementara itu, pemerintah yang mengasihani warganya hanya bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang menarik bagi para investor, yakni dengan memberikan penawaran seperti pajak rendak, tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional dengan upah yang melarat, serikat buruh lemah, dan regulasi minimal.
Perekonomian Indonesia yang hampir ambruk secara total tersebut memang menimbulkan konflik yang luar biasa. Indonesia menjadi semakin terjerumus kepada krisis kemandegan ekonomi yang tiada henti. Tingginya angka kemiskinan, maraknya pengangguran, permasalahan pangan yang berdampak pada kelaparan dan kematian, bahkan efek rumah kaca pun menjadi ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia. Penindasan dan eksploitasi kemudian dimengerti sebagai sisi dari satu sistem global, sedangkan kaum penguasa kapitalis yang berafiliansi dengan pemerintah belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit mereka.
Kondisi ekonomi semacam ini jelas tidak boleh didiamkan begitu saja. Skenario “globalisasi” telah mengekspos kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrinnya. Mereka memunculkan asumsi publik bahwa negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas akan mengalami perbaikan nasib. Terlebih dengan adanya intervensi kebijakan dari lembaga-lembaga internasional, seperti; WTO, IMF, dan Word Bank. Parahnya, aparatus negara yang harusnya berperan dalam kegiatan pokok ekonomi nasional dan internasional kini tidak bisa berbuat apa-apa. Dan restrukturalisasi dunia telah terjadi, sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi dari pemerintah sudah tercapai. Penjualan BUMN kepada swasta, melemahnya regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, penghapusan semua proteksi ekonomi melalui bea cukai, serta penghapusan subsidi pada bahan pokok merupakan kemenangan mutlak dari pasar bebas.
Kesengsaraan rakyat miskin harus segera diakhiri, sehingga dibutuhkan adanya sebuah gerakan yang akan menyatukan banyak sektor sebagai upaya perlawanan terhadap globalisasi. Dan jika regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah, maka dibutuhkan persepsi individu dan pengetahuan para individu untuk dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial.