My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 06 Juli 2008

Tanahku bermandikan darah, dikuras habis dan lelah



Land Reform atau Penghianatan Rakyat?
Oleh: Mayshiza Widya Uyex

“Hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bgi masyarakat”, (Penjelasan II, 4 UUPA)
Sengketa agraria nampaknya abadi di negeri ini, dan memang benar-benar njlimet. Sejak zaman kolonial, sampai tahun-tahun awal republik, masalah ini tidak pernah tuntas, bahkan semakin menyudutkan posisi rakyat kecil sebagai pihak yang paling dirugikan. Masalah pun menjadi parah manakala rezim pembangunan ekonomi (baca: orde baru) yang serba terpusat menjadi tergantung pada penanaman modal asing.
Lahirnya berbagai produk hukum resmi yang lebih mendukung para pemodal dan pemerintahan menjadi alat legitimasi untuk melakukan penguasaan atas tanah rakyat dengan dalih “kepentingan umum”, “demi pembangunan nasional”, dan sebagainya. Kasus sengketa tanah pun mulai marak dimana-mana dan masih terus berlangsung sampai sekarang.
Pembangunan dan Penghianatan
Pembangunan memang selalu menjadi topik hangat yang kerapkali diperbincangkan diberbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebut saja pembangunan real estate kenamaan yang gila-gilaan memberi tawaran fasilitas menggiurkan, seperti; Cibubur Country, Pantai Indah Kapuk, Kelapa Gading Square, dan masih banyak lagi. Padahal bersamaan itu pula banyak terjadi kasus-kasus penggusuran diberbagai daerah, mulai dari lapak pedagang kaki lima, pasar tradisional, sampai pemukiman penduduk.
Pembangunan yang disebut-sebut itu memang merupakan bagian dari proses multidimensi, dimana hal tersebut mencakup perubahan penting dalam struktur sosial, yang tentunya bukan tanpa mengorbankan kepentingan rakyat kecil. Tak ayal, hal ini membutuhkan adanya infrastruktur, termasuk didalamnya pengadaan lahan. Sementara itu, permasalahan yang terkait dengan pembebasan lahan privat untuk kepentingan publik senantiasa menimbulkan polemik. Bahkan sedemikian kompleksnya, sehingga tak bisa begitu saja terjawab oleh peraturan-peraturan yang sudah ada.
Sekian lama pula sejarah kebangsaan telah dibisukan dengan propaganda-propaganda kosong dan manipulasi kesadaran massa. Kebebasan untuk bertindak justru membawa rakyat kecil pada intimidasi dan kekerasan, sekaligus konfrontasi dengan hukum. Ada ratusan bahkan ribuan kasus sengketa tanah yang tak terselesaikan dan tak jarang berakhir dengan penggusuran juga perampasan lahan. Sungguh sangat ironis karena ternyata hal ini berlangsung di negara yang sudah merdeka selama 63 tahun.
Dewasa ini sering kita saksikan pula bagaimana para aparat pemerintahan dengan ringan tangan melakukan preasure terhadap rakyat kecil untuk meninggalkan lahan yang selama bertahun-tahun mereka tempati. Global warming menjadi salah satu isu sentral terhangat yang digulirkan kepermukaan untuk melegitimasi perampasan tanah rakyat. “Pengadaan lahan hijau” merupakan jurus paling jitu untuk semakin menenggelamkan rakyat kecil dalam keterpurukan. Belum lagi ganti rugi yang diberikan tidaklah sebanding, bahkan mungkin tidak cukup masuk akal.
Diam Tertindas atau Bertindak Melawan?
Tanah memang merupakan arti penting dalam kehidupan manusia. Karena hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung dan bersumber pada tanah, baik itu sebagai lahan pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan dan sebagainya. Ini sesuai dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Meskipun sudah ditetapkan kebijakan pertanahan oleh pemerintah, namun tak dapat dipungkiri bahwa kebijaksanaan tersebut tidak terlepas dari adanya pengaruh prioritas-prioritas berbagai kepentingan. Seperti kelompok bisnis dan industri yang paling banyak mempunyai akses pada proses perumusan kebijaksanaan negara. Maka kebijaksanaan alokasi tanah cenderung berpihak pada kepentingan individu atau kelompok tertentu. Tentunya dengan mengesampingkan kepentingan dan hak-hak rakyat miskin. Inilah yang kemudian melatarbelakangi berbagai unjuk rasa dan menuai aksi protes dalam kasus –kasus tanah.
Gemuruh keberanian pada jantung kejidupan rakyat kecil untuk melakukan aksi demonstrasi dijalan-jalan dengan bendera nasional dipandang sebagai bentuk pemberontakan atas penghinaan nasional, kesengsaraan ekonomi, dan kekecewaan terhadap demokrasi. Bisa jadi hal ini diilhami oleh keberanian rakyat kecil untuk ikut serta dalam perjuangan mencapai kemerdekaan hak dan keadilan sosial. Sebagaimana slogan yang diteriakkan oleh Ernesto “Che” Guevara dengan Land Reform-nya. Slogan yang kemudian menggerakkan massa rakyat yang tertindas untuk maju dan merebut kembali tanah yang seharusnya menjadi milik mereka.
Demikian pula yang dikemukakan Adolf Hitler; “Revolusi yang hebat di dunia ini tidak disebabkan oleh kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi oleh beberapa bentuk fanatisme yang menginspirasikan massa mengangkat senjata”. Sehingga jelaslah sudah bahwa hanya ditangan orang-orang yang bernyali saja perjuangan menuju perubahan yang revolusioner akan terjadi. Tentunya bukan tanpa posisi tawar. Maka sudah saatnya seluruh tenaga dan fikiran kita curahkan agar posisi kebudayaan pergerakan, ideologi, dan perjuangan segera dan seutuhnya menjadi milik sadar massa.[]

*Penulis adalah Ketua Kota Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Pimpinan Kota Kudus.

Tidak ada komentar: