My Profile

Foto saya
...brengsek, menyebalkan, keras kepala, ga kompromis, sok tau, picisan, banyak bacot, rese, nggak elegan, sok cool, jutek, ga fashionable, kurang kerjaan, narsis, sarkastik, pemimpi, nglantur, sia-sia... tp brusaha buat jujur & brani ambil resiko. so, move..keep our local spirits. No more horizontal confrontations! No more racism! No more separatism! No more intrics! No more coruption! No more Maria Eva! No more negara Islam! No more Bush! No more capitalism! No more hipocrits! No more militerism! JUST GET MORE INDONESIA saja..

Minggu, 06 Juli 2008

NEKOLIM


EKONOMI INDONESIA DALAM PENGARUH GLOBALISASI
Mayshiza Widya Uyex

Ya! Ada yang jaya
Ada yang terhina
Ada yang bersenjata
Ada yang terluka
Ada yang duduk
Ada yang diduduki
Ada yang berlimpah
Ada yang terkuras
Dan disini kita bertanya
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Penggalan sajak yang ditulis oleh Rendra diatas seakan mengingatkan kita tentang kontradiksi sosial yang tak pelak menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Dalam sebuah kekuasaan memang selalu saja ada pihak yang menguasai dan ada pihak yang dikuasai. Ada kaum borjuasi dan ada kaum proletariat. Dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi global, apalagi perekonomian Indonesia yang bersifat terbuka dalam kancah ekonomi global, mulai dari perdagangan, arus modal masuk dan keluar (capital inflow and outflow), juga kegiatan pemerintah melalui penarikan dan pembayaran hutang luar negeri. Terlebih ketika ada sekian banyaknya modal yang bercucuran kesana kemari dengan leluasa di negara berkembang, seperti Indonesia.
Komputer, perangkat lunak, dan internet menjadi jauh lebih penting dibandingkan produk-produk logam yang sudah “kadaluarsa”. Ini menunjukkan bahwa industri manufaktur sedang berpindah ke negara dunia ketiga, dan “keajaiban ekonomi” yang sering diteriakkan itu terbukti hanya sekedar retorika kosong belaka.
Sementara itu, pemerintah yang mengasihani warganya hanya bisa menyediakan lingkungan ekonomi yang menarik bagi para investor, yakni dengan memberikan penawaran seperti pajak rendak, tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan multinasional dengan upah yang melarat, serikat buruh lemah, dan regulasi minimal.
Perekonomian Indonesia yang hampir ambruk secara total tersebut memang menimbulkan konflik yang luar biasa. Indonesia menjadi semakin terjerumus kepada krisis kemandegan ekonomi yang tiada henti. Tingginya angka kemiskinan, maraknya pengangguran, permasalahan pangan yang berdampak pada kelaparan dan kematian, bahkan efek rumah kaca pun menjadi ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia. Penindasan dan eksploitasi kemudian dimengerti sebagai sisi dari satu sistem global, sedangkan kaum penguasa kapitalis yang berafiliansi dengan pemerintah belum juga mau mengambil langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan mengurangi profit mereka.
Kondisi ekonomi semacam ini jelas tidak boleh didiamkan begitu saja. Skenario “globalisasi” telah mengekspos kontradiksi dan kesalahan dalam doktrin-doktrinnya. Mereka memunculkan asumsi publik bahwa negara dunia ketiga yang menyambut pasar bebas akan mengalami perbaikan nasib. Terlebih dengan adanya intervensi kebijakan dari lembaga-lembaga internasional, seperti; WTO, IMF, dan Word Bank. Parahnya, aparatus negara yang harusnya berperan dalam kegiatan pokok ekonomi nasional dan internasional kini tidak bisa berbuat apa-apa. Dan restrukturalisasi dunia telah terjadi, sehingga pengaliran modal bebas tanpa intervensi dari pemerintah sudah tercapai. Penjualan BUMN kepada swasta, melemahnya regulasi yang mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, penghapusan semua proteksi ekonomi melalui bea cukai, serta penghapusan subsidi pada bahan pokok merupakan kemenangan mutlak dari pasar bebas.
Kesengsaraan rakyat miskin harus segera diakhiri, sehingga dibutuhkan adanya sebuah gerakan yang akan menyatukan banyak sektor sebagai upaya perlawanan terhadap globalisasi. Dan jika regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar bukan pemerintah, maka dibutuhkan persepsi individu dan pengetahuan para individu untuk dapat memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam pembebasan,
Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.

It’s the capitalism, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)

Silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/krisis-keuangan-global-karl-marx-di.html